Qasidah Munajat Al Imam Al Quthb Habib Abdullah Al Haddad

Qasidah Munajat Al Imam Al Quthb Habib Abdullah Al Haddad

Ya Rasulallah . . .

Habib Muhammad Al-Bagir (cicit Habib Utsman - Mufti Betawi)
Habib Muhammad Al-Bagir bin Alwi Bin Yahya: Totalitas Dakwah dengan Akhlaq Karimah PDF Print E-mail

Pada dirinya bermuara banyak keberkahan. Dari berkah Habib Utsman Bin Yahya, Habib Alwi Al-Haddad Keramat Empang, Habib Umar Bin Hud Cipayung, hingga Habib Umar Bin Hafidz dan Habib Rizieq Syihab.

Bila malam Sabtu rutin melewati arah Petamburan, Jakarta Pusat, atau Gilisampeng Kebon Jeruk, Jakarta Barat, jangan kaget bila Anda sering mendapati umbul-umbul putih bertuliskan Majelis Warotsatul Musthofa dengan warna hijau cukup besar.

Majelis yang belum lama berdiri ini tampaknya sudah mendapat hati dari kaum muslimin. Ya, mereka ingin mengenal lebih banyak perihal majelis ini dengan menghadirinya dan mengenal siapakah sosok ulama dakwah yang menjadi sosok sentral di dalamnya.

Melalui penelusuran yang cukup lama, alKisah berkesempatan mewawancarai tokoh itu, di sela-sela padatnya aktivitas dakwahnya. Ternyata, ia seorang anak muda yang tampak kealiman dan akhlaqnya yang mulia pada dirinya. Benarlah kata Al-Imam Asy-Syafi’i dalam Diwan-nya, “Al-‘Alimu kabirun wa in kana shaghiran wal jahilu shaghirun wa in kana syaikhan.” Yang artinya, seorang alim itu terlihat besar kewibawaannya meskipun muda belia usianya, sebaliknya orang bodoh itu terlihat kerdil sekalipun tua usianya.

Subhanallah, alKisah, yang selama ini sedikit banyak menyelami kitab-kitab Habib Utsman dan dulu sering mulazamah ke kediaman keluarganya, jadi “nyambung” saat bermuwajahah dengan tokoh muda ini.

Muara Keberkahan
Dai muda kelahiran Bogor, 19 Agustus 1988, ini adalah Habib Muhammad Al-Bagir bin Alwi Bin Yahya. Mengawali pembicaraan, ia menuturkan asal-usulnya:

“Abah ana adalah Habib Alwi bin Husein bin Muhammad bin Alwi bin Utsman bin Abdullah bin Agil bin Umar Bin Yahya asal Petamburan. Ana keturunan kelima dari Habib Utsman Bin Yahya Mufti Betawi. Sedangkan ibu ana Syarifah Rahmah, putri Al-Habib Ahmad bin Muhammad Alaydrus, yang dijuluki ‘Habib Ahmad Fakhr’ (fakhr berarti “kebanggaan” – Red.) asal Bogor.

Alhamdulillah, ana banyak mendapat keberkahan dan keberuntungan dari kedua kakek ana, yakni Habib Utsman dan Habib Ahmad Fakhr. Pertama, mendapat keberuntungan lahir di tempat tidur Habib Alwi bin Muhammad Al-Haddad Keramat Empang. Kamar khusus ini memang disediakan enjid (kakek) ana untuk Habib Alwi Al-Haddad, yang memang selalu ditempati beliau saat berkunjung ke rumah kakek ana, Habib Ahmad Fakhr. Jadi ada atsarnya di situ.

Satu keberuntungan lagi yang ana peroleh adalah ketika Ummi tengah mengandung ana. Beliau pergi ke kediaman Habib Umar Bin Hud Alatas, bertabarruk atas kehamilannya kepada Habib Umar.  Makanya, ummi ana mendapati ana punya wajah agak berbeda dari yang lain, lebih mancung, seperti hidung Habib Umar Bin Hud Alatas. Yang kedua, dari Habib Utsman.

Alhamdulillah segala sesuatunya menjadi amanah yang mulia yang patut ana emban sampai kapan pun.”

Ke Darul Mushthafa
Akhir 1999, saat usia 11 tahun, Habib Muhammad Al-Bagir, atau biasa disapa “Habib Bagir”, selulus dari SD, berangkat mondok ke Darun Nasyiin, Lawang, Jawa Timur, yang saat itu diasuh Habib Ali bin Muhammad Ba’bud.

Tak lama ia mondok, abahnya sakit. Dan, atas permintaan abahnya, akhirnya Habib Bagir kecil menyudahi nyantrinya di Lawang. Abahnya memintanya untuk sekolah di tempat yang terjangkau jaraknya oleh keluarga. “Ana ikuti keinginan orangtua, tapi ana hanya mau di pesantren, bukan sekolah umum,” katanya. 

Habib Bagir pun melanjutkan belajarnya ke Ma’had Darus Sa’adah Al-Habib Umar bin Muhammad Bin Hud Alatas, Cipayung, Bogor. Di antara guru-gurunya pada saat itu adalah Habib Munzir bin Fuad Al-Musawa, Habib Quraisy Baharun, Habib Hamid Barakwan, Habib Muhammad Al-Baiti, yang kesemuanya adalah murid-murid senior Habib Umar bin Muhammad Bin Hafidz.

Selepas menempuh pendidikan selama dua tahun, pada tahun 2002, Habib Bagir berangkat ke Hadhramaut, untuk meneruskan pendidikan ke Darul Mushthafa. Alhamdulillah, semua berjalan dengan mudah atas izin Allah. Niat untuk belajar yang kuat menjadikan semuanya itu dimudahkan oleh Allah Ta’ala.

Tahun 2007, setelah bermukim selama lima tahun, Habib Bagir kembali ke tanah air. Sebetulnya ia masih berkeinginan belajar di sana, namun orangtua memintanya membantu aktivitas dakwah di Jakarta.
Kenangan saat di Darul Mushthafa begitu indah. Khidmah selama di sana terbukti keberkahannya. Benarlah kata sebuah syair:

Man khadama
qadama

Siapa yang mengabdi
akan maju

“Pada bulan Ramadhan, saya hanya membantu mencuci karpet, menyapu lantai dan halaman, membantu di dapur untuk menyediakan ta’jil, dan semua pekerjaan rumah tangga yang terkadang terlihat sepele. Namun, subhanallah, apa yang saya lakukan itu menurunkan keberkahan buat saya. Di Darul Mushthafa itu semuanya ilmu dan mengandung berkah yang besar. Guru Mulia sering mengunjungi dapur saat kami bekerja, dan beliau menebarkan senyum kepada kami. Sungguh, beliau seperti orangtua kepada anaknya, penuh kasih dan mengemong kami dengan ilmu dan akhlaq beliau,” kenangnya.

Kenangan lainnya yakni pergaulan dengan orang-orang Tarim. Sebelum masuk ke Darul Mushthafa, biasanya santri pemula mondok di Rubath Syihr, cabang Darul Mushthafa dan awal mula tempat berdirinya Darul Mushthafa sepulangnya Habib Umar belajar dari Baydha`. “Nah, orang-orang Arab di Syihr ini yang mengajari kami belajar bahasa Arab yang murni dan fasih, juga bahasa

Arab yang lazim dipakai di Tarim dan Yaman secara keseluruhan. Bahkan kami juga berkesempatan belajar bahasa Inggris dan Afrika, dari para kawan kami, murid-murid pemula Tuan Guru, yang berasal dari Amerika, Inggris, Australia, dan Afrika. Jadi menambah wawasan pergaulan kami.”

Alhamdulilah, di tanah air, ia masih diberi kesempatan untuk belajar lagi kepada beberapa ulama habaib, di antaranya Habib Umar bin Abdullah Alatas Berdikari Rawabelong dan Habib Muhammad Rizieq bin Husein Syihab Petamburan. Di samping itu ia juga ikut serta aktif di majelis mudzakarah bersama Habib Jindan, Habib Ahmad, dan sejumlah ustadz lainnya, alumni Darul Mushthafa.

Warotsatul Musthofa
Sepulang dari Tarim, Habib Muhammad Al-Bagir punya tekad untuk memakmurkan kembali Masjid Jami' Al-Islam Petamburan, Jakarta Pusat, sebuah masjid peninggalan Habib Utsman Bin Yahya, buyutnya. Di masjid itulah untuk pertama kalinya ia menyampaikan khuthbah Jum’at dan mengajar ta’lim setiap Ahad malam.

Tiga tahun kemudian, berkah dari ilmu yang diperoleh, Habib Bagir mengajar di beberapa majelis, masjid, dan mushalla di beberapa wilayah, bahkan sampai ke Bogor.

Setelah berjalan sekian tahun, timbul keinginan dari dirinya untuk membangun sebuah majelis yang terorganisir yang menaungi sekian majelis yang diasuhnya. Tujuannya, agar bermanfaat lebih banyak bagi umat lewat satu payung majelis sehingga timbul kebersamaan.

Alhamdulillah, kemudian berdirilah majelis yang dinamakan “Warotsatul Musthofa”.

Kegiatan Warotsatul Musthofa berjalan dari majelis ke majelis, rumah ke rumah. Perlahan namun pasti, semuanya berkembang pada satu tujuan untuk mengajak jama’ah mempelajari Islam lebih baik lagi, mengenal dan mencintai Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Betapa indahnya kalau melihat negeri ini makmur oleh majelis, diwarnai oleh muslimin dan muslimah yang hidup harmonis, yang mencintai Rasulullah SAW, menjalani syari’at beliau dalam segala bentuk aktivitas mereka.

Alhamdulillah, murid dan jama’ah antusias mengikutinya. Mereka berbondong-bondong berperan serta. Ada yang membawa sound system,  tenda. Ada yang mengurusi sablon, ada yang menyumbangkan keahlian berorganisasi. Semua terwadahi.

Dengan merendah Habib Muhammad Al-Bagir mengatakan bahwa dirinya hanya menjadi pendorong dan penasihat, sedangkan semua yang menjalaninya jama’ah dan murid-muridnya.

“Mereka ini punya semangat yang tinggi untuk menumbuhkan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya. Bahkan, yang mencintai majelis ini bukan hanya para orang tua, pemuda, dan remaja, tapi juga anak-anak kecil. Mereka ini suka datang ke rumah saya, mau minta bendera-bendera kecil. Yah, namanya anak-anak.... Semangat dan cinta mereka tumbuh karena fithrah yang Allah berikan, subhanallah.

Di samping itu, bilamana pengajian kita adakan, ada pembacaan tilawatul Qur’an, dan yang membaca itu anak kecil, sehingga ini menjadi daya tarik yang luar biasa buat siapa saja, bahwa penanaman aqidah dan syari’ah, penanaman mahabah kepada Rasulullah SAW, dilakukan sejak usia dini.”

Namun ia tekankan juga kepada jama’ah, “Ini bukan majelis sekadar rame-rame. Ini majelis yang harus tetap berada pada koridor Islam yang benar. Jama’ah laki-laki dan perempuan tidak diperkenankan campur baur, dan pembacaan Al-Qur’an dan Maulid harus disimak baik-baik, agar turun keberkahan dari Allah Ta’ala buat semua.”

Ia berharap, semoga jama’ahnya meneladani akhlaq Rasulullah SAW.

Tentang nama Warotsatul Musthofa, nama itu diperoleh lewat kontak bathin dengan gurunya, Tuan Guru Mulia Habib Umar Bin Hafidz. “Bisyarah ini saya peroleh dari Guru Mulia Al-Habib Umar Bin Hafidz saat beliau berkunjung ke Majelis Darul Mushthafa Petamburan beberapa tahun yang lalu,” kata habib muda keturunan kelima Habib Utsman ini.

Wilayah dakwah dengan bendera Warotsatul Musthofa yang telah berjalan selama empat tahun ini kini mencakup sebahagian besar wilayah Jakarta, terutama Jakarta Barat dan Jakarta Pusat, sebahagian Jakarta Timur dan Selatan, hingga sampai ke Tangerang, Parung, serta Gunung Sindur di Bogor.

Kesan dan Pesan para Guru
Guru yang sangat dikagumi Habib Muhammad Al-Bagir di antaranya Habib Muhammad Rizieq Syihab. “Beliau guru pertama ana saat masih dalam usia belia dan beliau baru pulang belajar dari Arab Saudi,” ujarnya. Kemudian Habib Ali bin Muhammad Ba’bud (Lawang), Habib Munzir Al-Musawa dan Habib Quraisy Baharun (Darus Sa’adah Cipayung), Syaikh Obeid Balas’ad (Darul Mushthafa), almarhum Habib Umar bin Abdullah Alatas (......................), dan masih banyak lagi. Mereka ini benar-benar mengisi relung hatinya. Maka wajarlah, keberkahan selalu mengiringi habib muda ini.

Sedang guru yang sangat memotivasinya untuk terjun ke dunia dakwah yakni Tuan Guru Mulia Al-Habib Umar Bin Hafidz, yang cara mendidik dan mengajarnya sungguh luar biasa. Ia seperti orangtua kepada anaknya, penuh kasih dan mengemong murid-murid dengan ilmu dan akhlaqnya. “Bila saya mendapati suatu hal yang bikin saya jenuh atau terbersit sesuatu hal yang tidak mengenakkan bathin,  usai shalat berjama’ah lalu berkesempatan memandang wajah Guru Mulia, hilanglah semua permasalahan itu, tanpa berkeluh kesah atau curhat kepada beliau. Bahkan berganti dengan ketenangan bathin. Maka, bagaimana bila mendapati senyuman beliau. Subhanallah...,” kata Habib Bagir dengan mata berbinar
Begitu juga dengan gurunya sejak ia masih kecil dan masih bermulazamah dengannya hingga kini, yakni Habib Muhammad Rizieq Syihab. Habib Rizieq selalu menekankan pesan dan kesan yang dalam, baik saat ia hendak berangkat ke Tarim maupun hingga sekembalinya ke tanah air, dan mengaji lagi kepadanya, “Jangan pernah berhenti berjuang untuk berdakwah, istiqamah dalam mengingatkan kebaikan dan kebenaran kepada orang lain.”

Lalu ia menambahkan, “Pesan beliau yang sangat ana pegang adalah, ‘Jangan berbicara dengan niat orang mau dan harus mendengarkan pembicaraan kita. Katakan, yang haq itu haq dan yang bathil itu bathil. Jangan meminta sesuatu kepada orang. Jangan mengandalkan keindahan retorika atau ceramah yang bagus, yang hanya membuat orang senang tapi tidak menyentuh hati orang yang didakwahi, apalagi menimbulkan akhlaq yang tidak bagus. Yang terpenting adalah menjaga akhlaq’.”

Begitupun dengan sang ayah. Ada pesan dari ayahnya yang hingga hari ini terus dijaga. “Saya ingat, waktu itu saya sedang membenahi pakaian ke dalam koper saya saat detik-detik keberangkatan dari rumah menuju bandar udara, untuk berangkat belajar ke Tarim. Abah sambil memandangi saya berkata, ‘Ya Muhammad Al-Bagir, nanti sepulang belajar dari Tarim jangan bawa pulang apa pun. Satu saja yang dibawa pulang: akhlaq! Abah cuma berharap satu hal itu. Kitab-kitab boleh dibawa pulang. Pakaian tinggalkan saja, kasih buat orang-orang di sana.’ Pesan itulah yang terus saya pegang hingga kini,” demikian Habib Bagir mengenang.

Ya, baginya, akhlaqlah yang pokok, tonggak amal dan mu’amalah kepada siapa pun. Tidak memandang status seseorang, apalagi ukuran-ukuran duniawi. Bahkan seorang yang dikatakan alim pun dapat tergelincir dalam hal ini.

Ia menuturkan, “Seorang jama’ah ana punya kakak cacat seumur hidup. Sering kali ia menanyakan diri ana kepada adiknya yang ikut majelis ana. Pengin ketemu, katanya. Walhasil, ana yang pengin datang ketemu kakaknya. Subhanallah, ia nggak menyangka malah ana yang datang, dan ia terharu.

Ana memang selalu berupaya agar ana bergaul dengan akhlaq yang mulia, seperti yang dipesankan Abah dan guru-guru ana.”

Meneladani Akhlaq Rasulullah
Ketika alKisah menanyakan ihwal cita-cita, Habib Muhammad Al-Bagir mengatakan, cita-citanya bukan seperti cita-cita kebanyakan orang, yang pada umumnya untuk urusan pribadi. Ia bercita-cita ingin jama’ahnya dan umat ini punya akhlaq seperti akhlaq Rasulullah SAW dan berjalan pada jalan yang diridhai Allah Ta’ala.

Cita-cita lainnya, ia berharap, lewat Majelis Warotsatul Musthofa, kelak ia bisa membangun pesantren, lembaga-lembaga sosial, sehingga ada wadah buat orang-orang susah yang belum berkesempatan menimba ilmu. Sesuai namanya, Warotsatul Musthofa, yang berarti “warisan Baginda Nabi Muhammad SAW”, tidak mewariskan dinar ataupun dirham, melainkan mewariskan ilmu. Dan warisan itu bukan hanya hak dzurriyyahnya, tapi juga seluruh umatnya. “Mudah-mudahan ada jalan untuk niatan baik ini lewat orang-orang yang baik, amin...,” katanya penuh harap.

Habib Bagir juga ada niat untuk menulis, di antara kesibukan mengajar dan berdakwah. Sebahagian dari fawaid (catatan atas syarah ilmu yang disampaikan guru-guru secara lisan) dan apa yang terbetik di hati, sejauh ini sudah banyak dirangkumnya. Namun langkah konkret yang kini tengah difokuskannya adalah mengumpulkan dan menginventarisir karya-karya kakeknya, Habib Utsman bin Abdullah Bin Yahya, yang termasyhur sebagai mufti Betawi dan penulis kitab yang sangat produktif.

Ada kurang lebih 160 buah karya Habib Utsman yang ada di berbagai negeri dan daerah. Di Hadhramaut sendiri, Habib Bagir mendapatinya di perpustakaan Habib Abdullah bin Husein Bin Thahir, seorang ulama penulis kenamaan. Begitu pun dari beberapa ulama atau kiai Betawi di Jakarta, ada beberapa karya Habib Utsman yang dikoleksi para kiai ini dalam bentuk cetakan lama. Sedangkan yang di Belanda, ada di perpustakaan Universitas Leiden.

Habib Bagir ingin agar jama’ah dan umat bisa menggali karya-karya Habib Utsman ini dan memahaminya kembali. Dengan cara, ia mempermudah bahasanya dari bahasa Melayu lama, atau menerjemahkan yang berbahasa Arab.

Untuk saat ini, ia mengajarkan kitab Sifat Dua Puluh dalam majelis-majelis yang diadakan Warotsatul Musthofa. Ternyata, sambutannya luar biasa. Dari para kiai dan habaib, Habib Bagir terus mendapat dorongan untuk mensyiarkan kembali turats (karya) Habib Utsman.

“Habib Ali Bin Sahil, orangtua dan juga guru ana, berkata kepada ana, ‘Kitab enjid (yakni Habib Utsman) mesti kita hidupkan lagi, ya Muhammad Al-Bagir...’. Begitu pun saat di Hadhramaut, ada seorang kakek ana yang juga ulama di sana, cicit langsung Habib Utsman, Habib Ali bin Muhammad Alaydrus, yang ana mengaji kepadanya setiap Kamis, berpesan, ‘Kalau bukan kita yang membaca karangan-karangan Habib Utsman, siapa lagi?’ Inilah kewajiban yang harus kita tunaikan dari para orangtua kita,” katanya penuh semangat.

Alhamdulillah, para keturunan Habib Utsman yang lainnya bahu-membahu untuk menghidupkan atsar (peninggalan) dan turats (karya)-nya. Ada Habib Ahyad Banahsan di Ma’had Al-‘Abidin Jakarta Timur dan cucu langsung Habib Utsman, yakni Habib Abdullah bin Yahya bin Utsman Bin Yahya, di Sudimara, Jombang, yang menghidupkan pembacaan kitab-kitab Habib Utsman di majelisnya, serta masih banyak lagi para keturunannya. Bahkan banyak juga majelis-majelis yang diasuh kalangan kiai dan asatidz Betawi yang dalam majelisnya menggunakan kitab-kitab karya Habib Utsman. Inilah mudah-mudahan bentuk penghargaan atas keilmuan Habib Utsman dan buah amalnya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Tahun Baru Hijriyyah
Menutup wawancara dengan habib muda yang murah senyum ini, ia menyampaikan pesan tentang Tahun Baru Hijriyyah yang akan kita lalui sesaat lagi. Hendaknya kita mengenang hijrahnya Nabi SAW dan para sahabat dan mengambil ibrahnya. Mari berhijrah dari keadaan yang tidak diridhai Allah menuju keridhaan-Nya. Menjadikan hari-hari kita ke depan kepada hal yang lebih baik lagi, sebagaimana Baginda Nabi SAW menjadikan hari-hari dalam kehidupannya dalam keadaan yang suci dan baik.

Sayyidina Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu berkata, “Al-yawm ‘id, bukrah ‘id, ams ‘id, kullu yawmin la na’shi wa la dzanba fihi fahuwa ‘id.” Yang artinya, hari ini adalah hari raya, besok hari raya, bahkan kemarin juga hari raya. Setiap hari yang tidak kita isi dengan kemaksiatan dan dosa, itu adalah hari raya. Maka dari itu, mudah-mudahan, membuka lembaran baru di Tahun Baru Hijriyyah ini, kita semua selalu memperbaharui hidup dalam keadaan yang diridhai Allah SWT. Amin.
 
Sumber :
http://majalah-alkisah.com/index.php/figur/26-profile-tokoh/964-habib-muhammad-al-bagir-bin-alwi-bin-yahya-totalitas-dakwah-dengan-akhlaq-karimah
Fadhilah Sholawat "Burdah"

Fadhilah Burdah

Burdah artinya mantel dan juga dikenal sebagai Bur’ah yang berarti shifa (kesembuhan). Imam Busyiri adalah seorang penyair yang suka memuji raja-raja untuk mendapatkan uang. Kemudian beliau tertimpa sakit faalij (setengah lumpuh) yang tak kunjung sembuh setelah berobat ke dokter manapun.

Tak lama kemudian beliau mimpi bertemu Rasulullah S.A.W. yang memerintahkannya untuk menyusun syair yang memuji Rasulullah. Maka beliau mengarang Burdah dalam 10 pasal pada tahun 6-7 H. Seusai menyusun Burdah, beliau kembali mimpi bertemu Rasulullah yang menyelimutinya dengan Burdah (mantel). Ketika bangun, sembuhlah beliau dari sakit lumpuh yang dideritanya.

Qoshidah Burdah ini tersebar ke seluruh penjuru bumi dari timur ke barat. Bahkan disyarahkan oleh sekitar 20 ulama, diantaranya yang terkenal adalah Imam Syaburkhiti dan Imam Baijuri.

Habib Husein bin Mohammad Alhabsyi (saudara Habib Ali Alhabsyi sohibul maulid Simtud Duror) biasa memimpin Dalail Khoiroot di Mekkah. Kemudian beliau mimpi bertemu Rasulullah yang memerintahkannya untuk membaca Burdah di majlis tersebut. Dalam mimpi tersebut, Rasulullah berkata bahwa membaca Burdah sekali lebih afdol daripada membaca Dalail Khoiroot 70 kali.

Ketika Hadramaut tertimpa paceklik hingga banyak binatang buas berkeliaran di jalan, Habib Abdulrahman Al Masyhur memerintahkan setiap rumah untuk membaca Burdah. Alhamdulillah, rumah-rumah mereka aman dari gangguan binatang buas.

Beberapa Syu’araa (penyair) di zaman itu sempat mengkritik bahwa tidaklah pantas pujian kepada Rasulullah dalam bait-bait Burdah tersebut diakhiri dengan kasroh/khofadz. Padalah Rasulullah agung dan tinggi (rofa’). Kemudian Imam Busyiri menyusun qoshidah yang bernama Humaziyyah yang bait-baitnya berakhir dengan dhommah (marfu’).

Imam Busyiri juga menyusun Qoshidah Mudhooriyah. Pada qoshidah tersebut terdapat bait yang artinya, ‘Aku bersholawat kepada Rasulullah sebanyak jumlah hewan dan tumbuhan yang diciptakan Allah.’ Kemudian dalam mimpinya, beliau melihat Rasulullah berkata bahwa sesungguhnya malaikat tak mampu menulis pahala sholawat yang dibaca tersebut.

Habib Salim juga bercerita tentang seseorang yang telah berjanji kepada dirinya untuk menyusun syair hanya untuk memuji Allah dan Rasulullah. Suatu ketika ia tidak mempunyai uang dan terpaksa menyusun syair untuk memuji raja-raja agar mendapat uang. Ia pun mimpi Rasulullah berkata, “Bukankah engkau telah berjanji hanya memuji Allah dan Rasul-Nya?! Aku akan memotong tanganmu…”

Kemudian datanglah Sayidina Abubakar r.a. meminta syafaat untuknya dan dikabulkan oleh Rasulullah. Ketika ia terbangun dari tidurnya, ia pun langsung bertobat. Kemudian ia melihat di tangannya terdapat tanda bekas potongan dan keluar cahaya dari situ.

Habib Salim mengatakan bahwa Burdah ini sangat mujarab untuk mengabulkan hajat-hajat kita dengan izin Allah. Namun terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi. Yaitu mempunyai sanad ke Imam Busyiri, mengulangi bait ‘maula ya solli wa sallim…’, berwudhu, menghadap kiblat, memahami makna bait-bait, dibaca dengan himmah yang besar, beradab, memakai wewangian.

Khusus tentang memakai wewangian ini, Habib Salim mengatakan, ‘Tidak seperti orang sekarang, membaca Burdah namun badannya bau rokok. Padahal salaf telah sepakat untuk mengharamkan rokok.’

Di akhir ceramah beliau, Habib Salim menyampaikan bahwa jika seseorang tidak berjalan di thoriqoh aslaf maka dikhawatirkan tiga hal. Pertama, umurnya pendek. Kedua, Hidup dalam keadaan bingung/akalnya gila. Ketiga, tak akan dihargai masyarakat.

(Disampaikan di Majlis Burdah Hb Syekh Alaydrus Jl. Ketapang Kecil Surabaya)
Do'a yang tidak ditolak

DO A YANG MUSTAJAB

1. PADA WAKTU TENGAH MALAM ATAU AKHIR MALAM
Rasullah bersabda: pada tiap malam, tuhan kita turun ke langit dunia ketika bersisa sepertiga malam yang akhir. Maka Allah berfirman: “barangsiapa yang berdo’a kepada-ku, pasti akan ku-kabulkan, dan siapa yang memohon kepada-ku, pasti akan ku-beri,dan siapa yang mohon ampun kepada-ku pasti akan ku ampuni”. (Hr.malik, bukhari, muslim, tirmidzi dan selainnya)

Bila telah lewat sebagian malam atau dua pertiganya, akan turun ke langit dunia Allah Yang Maha Memberkati dan Maha Tinggi, lalu berfirman: “tak seorang pun yang meminta pasti ia akan ku-beri, tak ada seorang pun yang berdoa pasti ia akan dikabulkan, tak ada seorang pun yang mohon ampun pasti ia akan Ku-ampuni”. Sehingga tiba waktu shubuh. (Hr. Bukhari dan Muslim)

Sedekat-dekat Allah (tuhan) dari hamba-nya ialah di tengah malam. maka dari itu, jika engkau mampu menjadi orang yang berdzikir kepada Allah pada saat itu maka kerjakanlah, (Hr. Abu Dawud dan Tirmidzi)

2. SESUDAH SHALAT FARDHU
ditanyakan orang kepada Rasulullah: wahai Rasulullah, manakah doa yang paling didengar Allah? rasulullah menjawab: doa di tengah malam dan doa setelah shalat wajib (Hr. Tirmidzi)

3. DI WAKTU LAPANG
Barangsiapa yang menginginkan doanya dikabul Allah ketika ia dalam kesulitan, maka hendaklah ia memperbanyak doa di waktu lapangnya (Hr. Thirmidzi dan Hakim)
Tidak ada sesuatu yang paling mulia di sisi Allah Azza wa Jalla daripada doa ketika dalam keadaan lapang. (Hr. Hakim)

4. DI WAKTU SUJUD
Jarak yang paling dekat antara seorang hamba dengan Tuhannya ialah ketika sujud. Maka perbanyaklah do’a (di waktu itu). (Hr. Muslim)

5. DIAWALI DENGAN ASMAUL HUSNA
serulah Allah atau serulah Arrahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru (adalah boleh) karena Dia mempunyai nama-nama yang terbaik dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah merendahkannya, dan carilah jalan tengah diantara keduanya itu. (al isra,17 :110)

6. DIAWALI DENGAN ISMUL A’ZHAM
Nabi Saw lewat di depan seorang yang bernama Abu ‘Iyasy Zaid bin Shamit az Zuraqiy yang sedang shalat. Ia berdo’a: Ya Allah, aku memohon kepadaMu, karena sesungguhnya bagiMu puja dan puji, tiada Tuhan selainMu, wahai yang Maha Pemberi, yang menjadi harapan, Yang Mencipta langit dan bumi, yang Maha Luhur dan Maha Mulia. Kemudian rasulullah bersabda engkau telah memohon kepada Allah dengan menggunakan nama-namaNya yang Maha Agung yang bilamana dimohonkan dengan nama-namaNya itu akan dikabulkan dan jika dimintai dengannya juga akan diberi (Hr. Ahmad, Ibnu Majah, Abu Daud, Nasai dan lain-lain)

7. DIAWALI DENGAN KALIMAT TAUHID
Barangsiapa berdo’a dengan kalimat-kalimat yang lima, apa pun permintaannya akan diberi. Kalimat itu ialah:
laa ilaaha illallahu wallaahu akbaru, laa ilaaha illallahu wahdahu laa syariikalahu, lahul mulku walahul hamdu wa huwa ‘alaa kulli syai-in qadiirun, laa ilaaha illallaahu wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah. (Hr. Tirmidzi)

8. DIAWALI DENGAN ARHAMARR RAAHIMIIN
Sesungguhnya Allah mempunyai malaikat yang mewakili-Nya bagi barangsiapa yang berdo’a dengan berkata: Yaa arhamarraahimiin. Maka siapa saja yang menyebutnya 3 kali, maka menjawablah malaikat itu: Sesungguhnya Allah arhamarraahimiin telah (berkenan) mengabulkan permohonanmu. Maka mintalah kepadaNya. (Hr. Hakim)

9. YAKIN AKAN DIPENUHI
Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Aku akan mengikuti persangkaan hambaKu kepadaKu. dan Aku selalu menyertainya apabila ia berdo’a kepadaKu.” (Hr. Bukhari dan Muslim)

10. RENDAH HATI DENGAN SUARA LEMBUT
Berdo’alah kepada Tuhanmu dengan berendah hati dan suara lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampau batas. (Q.S, al A’raf, 7:55)

11. DENGAN RASA TAKUT DAN PENUH HARAP
dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdo’alah kepadaNya dengan rasa takut (tidak akan dikabulkan) dan berharap (akan diterima). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. (Q.S. al A’raf, 7:56)

12. MENDOAKAN ORANG LAIN TANPA DIKETAHUINYA
Doa seorang muslim untuk saudaranya (sesama muslim) dari tempat yang jauh (tanpa diketahuinya) akan dikabulkan. (Hr. Muslim)

13. DOA ORANG YANG DIZHALIMI
Takutlah akan do’a orang yang dizhalimi, karena do’a itu akan diangkat ke atas dan Allah berfirman: Demi kemuliaan dan keagunganKu, Aku pasti menolongmu, walau sesudah beberapa saat. (Hr. Thabrani)

14. DOA PEMIMPIN YANG ADIL DAN ORANG YANG BERPUASA
Tiga golongan tidak akan ditolak do’a mereka: orang yang berpuasa, pemimpin yang adil, dan orang yang teraaniaya. (Hr. Tirmidzi)

15. DIULANG 3 KALI
Adalah Nabi as apabila ia mendo’a, ia mendo’a tiga kali, dan apabila ia meminta, juga memintanya 3 kali. (Hr. Muslim)

16. DOA BUKAN UNTUK KECELAKAAN
Janganlah kau berdo’a untuk kerusakan dirimu, anakmu, pembantumu, jangan minta kepada Allah kerusakan, karena mana tahu sewaktu kamu minta maka Allah mengabulkannya bagimu. (Hr.uslim, Abu Daud dan Ibnu Khuzaimah)

17.BUKAN UNTUK DOSA, MEMUTUSKAN SILATURAHMI DAN JANGAN TERGESA-GESA
Senantiasa diterima do’a seorang hamba Allah apabila ia tidak berdo’a untuk berbuat dosa atau memutuskan silaturahmi, asal saja tidak dilakukan dengan tergesa-gesa: ‘Apakah yang dimaksud dengan tergesa-gesa?’ Rasul menjawab: “Seseorang berkata:”Aku telah berulangkali berdo’a tetapi tidak juga kulihat dikabulkan’. Ia merasa rugi dan lesu sampai ia meninggalkan do’anya.” (Hr. Muslim dan Tirmizi)


Habib Hasan bin Abdul Qadir Al-Attas
Habib Hasan bin Abdul Qadir Al-Attas: Berdakwah di Tengah Kaum Muda PDF Print E-mail

“Siapa lagi yang peduli pada anak-anak muda? Ingat, tegak dan runtuhnya suatu negara tergantung pada pemuda.”

Ibarat pohon yang terus tumbuh, batangnya menjulang tinggi, akarnya semakin dalam, buahnya pun bertunas, kemudian tumbuh menjadi pohon yang kokoh dan kuat. Begitu pula majelis yang hampir seabad lalu dirintis Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas, kini menyemai bibit bagi tumbuhnya majelis-majelis pada generasi selanjutnya. Salah satunya, Majelis Ta’lim dan Dzikir Nurul Fata.
Majelis Nurul Fata diasuh oleh Habib Hasan bin Abdul Qadir Al-Attas, salah seorang cicit Habib Abdullah bin Muhsin, Keramat Empang Bogor. Nasab lengkapnya, Habib Hasan bin Abdul Qadir bin Muhsin bin Abdullah bin Muhsin Al-Attas.
Dulu, leluhurnya memilih “Nur” sebagai nama majelis dan masjid yang ia bangun, kini sang cicit bertabarruk menggunakan nama yang serupa, dengan tambahan kata “Al-Fata”, yang berarti “pemuda”. Jadi, “Nurul Fata” bermakna “Cahaya Pemuda”.
Dengan nama itu Habib Hasan berharap, keberhakan Majelis Ta’lim An-Nur, yang didirikan sang kakek, tetap melekat di majelis yang sudah sepuluh tahun dibentuknya. Karenanya, majelis yang ia bina ini tak pernah mendahulukan Majelis An-Nur dalam momen pembukaan atau penutupan akhir tahun majelis. Kalau Majelis Nurul Fata mau dibuka, Majelis An-Nur harus sudah dibuka terlebih dulu. Begitu pun kalau mau tutup menjelang Ramadhan.
Sementara itu kata-kata “Al-Fata” yang ia gunakan adalah karena pada kenyataannya 70 persen jama’ahnya, bahkan ia sebagai pengasuhnya, berasal dari kalangan kaum muda. Majelis Ta’lim Nurul Fata ini memang memusatkan dakwah pada kalangan anak muda. Dakwah-dakwahnya selalu berisi motivasi serta dedikasi kepada para pemuda Islam yang ingin maju dalam tuntunan Islam. “Siapa lagi yang peduli pada anak-anak muda? Ingat, tegak dan runtuhnya suatu negara tergantung pada pemuda,” katanya.

Di Bawah Asuhan MunshibRoda perputaran kepemimpinan di Masjid An-Nur dan Makam Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas, Keramat Empang Bogor, memang agak berbeda dengan kebiasaan di tempat-tempat lainnya.
Biasanya, manshabah (kemunshiban) beralih dari putra tertua ke cucu putra tertua, dan begitu seterusnya. Di Keramat Empang Bogor tidak demikian, manshabah beralih dari putra tertua, kemudian ke putra kedua, dan seterusnya. Setelah putra terakhir wafat, manshabah kembali pada garis putra tertua, yaitu cucu shahibul maqam putra tertua, kemudian cucu putra kedua, dan seterusnya.
Karenanya, setelah Habib Muhsin bin Abdullah, putra tertua Habib Abdullah bin Muhsin, wafat, manshabah beralih pada putra-putra Habib Abdullah lainnya, atau adik-adik Habib Muhsin bin Abdullah, secara berurut, yaitu kepada Habib Zen bin Abdullah, Habib Husen bin Abdullah, dan Habib Abubakar bin Abdullah.
Sepeninggal Habib Abubakar, Habib Abdul Qadir, selaku cucu anak pertama Habib Abdullah bin Muhsin, memangku jabatan sebagai munshib di Keramat Empang Bogor. Habib Abdul Qadir adalah ayah Habib Hasan, figur kita kali ini.
Setelah Habib Abdul Qadir wafat, posisi munshib digantikan oleh cucu anak kedua, Habib Abdullah bin Zen, yang baru saja wafat beberapa bulan silam. Kini manshabah Keramat Empang Bogor diteruskan oleh cucu anak ketiga, yaitu Habib Abdullah bin Husen bin Abdullah bin Muhsin Al-Attas.
Meski berbeda dengan kebiasaan yang ada, selama ini roda kepemimpinan ala Keramat Empang Bogor terus berputar secara teratur di keluarga anak-cucu keturunan Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas, tanpa ada gejolak. Semuanya mengalir dengan tenang dan damai sesuai dengan aturan khas ala keluarga Keramat Empang Bogor.
Habib Hasan tumbuh besar di bawah asuhan dan didikan munshib kelima, yaitu ayahnya sendiri, Habib Abdul Qadir bin Muhsin bin Abdullah bin Muhsin. Banyak keteladanan dari sang ayah yang masih diingatnya hingga sekarang.
Sebagai munshib, aktivitas sehari-hari Habib Abdul Qadir adalah menerima kunjungan tamu yang datang dari berbagai daerah, bahkan dari mancanegara, dan mengantar mereka atau menuntun mereka dalam melaksanakan ziarah ke makam Habib Abdullah. Habib Abdul Qadir sendiri banyak mempelajari agama dari ayahnya, Habib Muhsin.
Di antara tokoh-tokoh yang menjadi sahabat dekat Habib Abdul Qadir adalah Habib Ahmad bin Ali Al-Attas Pekalongan, Habib Abdullah bin Ahmad Al-Kaf Tegal, Habib Hasan bin Husen Al-Haddad Tegal, Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf Bukit Duri.
Bukan hanya dekat, mereka pun saling cinta dan hormat. Misalnya, antara Habib Abdul Qadir dan Habib Abdurrahman Assegaf, kalau salah satu di antara mereka saling mengunjungi, yang berkunjung tak ingin yang dikunjungi berdiri untuk menyambut. “Abah tidak mau masuk ke ruangan kalau Al-Walid, Habib Abdurrahman Assegaf, sampai berdiri untuk menyambutnya. Begitu pun sebaliknya,” kisah Habib Hasan.
Jejak lebih UtamaSemasa hidupnya, Habib Abdul Qadir adalah seorang yang berjiwa sosial tinggi. Ia banyak membantu orang yang sedang mengalami kesulitan dalam keuangan.
Banyak pula orang yang berutang uang kepadanya. Habib Abdul Qadir hampir selalu meminjamkan uang kepada mereka yang hendak meminjam uang kepadanya. Tanpa bunga, tentunya. Sampai-sampai, waktu ia wafat, banyak orang masih berutang kepadanya.
Kepada para tamu atau jama’ahnya, terkadang Habib Abdul Qadir juga menjual sarung, terutama bila sudah mendekati bulan Ramadhan dan Lebaran. Uniknya, ia lebih suka menjual sarung dengan cara diutangkan. Rupanya, ia ingin tali silaturahim terus berlanjut. “Kalau dikasih kontan, biasanya orang tidak balik lagi,” kata Habib Hasan mengutip kata-kata ayahnya saat memberi alasan kenapa ia lebih suka menjual sarung-sarungnya itu dengan cara diutangkan.
Dalam keluarga, Habib Abdul Qadir adalah sosok ayah yang amat disegani putra-putrinya. Ia juga seorang yang sangat memuliakan tamu.
Habib Hasan mengisahkan sebuah pengalaman yang amat berharga baginya saat bersama sang ayah dulu. Suatu ketika, ia dan ayahnya hadir di sebuah majelis. Di sana, dibacakan kitab Maulid secara bergiliran. Karena duduk agak di depan, Habib Hasan juga dapat giliran membaca.
Saat akan membaca, tiba-tiba sang ayah mencegahnya. Ia menyuruh agar anaknya berhenti membaca saat itu juga dan meminta jama’ah yang lain untuk meneruskan.
Rasa malu, kecewa, bercampur aduk jadi satu dalam pikiran Habib Hasan saat itu. Seketika, ia pun teringat sebuah kisah di zaman dahulu tentang seorang wali yang dalam kesempatan makan bersama membagi-bagikan daging yang ada dalam piringnya kepada para jama’ahnya. Kepada putranya sendiri, ternyata si wali hanya memberi tulang yang telah habis terkelupas dagingnya, karena dagingnya telah habis ia makan.
Para ulama, ketika menerangkan alasan mengapa sang wali berbuat demikian, menyitir sebuah maqalah, “Jejak-jejak para wali lebih utama dari makamnya.”
Hikmahnya, Habib Abdul Qadir menginginkan sang putra memahami bahwa meneladani perilaku salafush shalih, para pendahulunya yang shalih, adalah lebih utama daripada sekadar membanggakan diri sebagai putra Fulan, cucu Fulan, dan seterusnya.
Habib Abdul Qadir, yang semasa hidupnya selalu mendawamkan bacaan shalawat Habib Sholeh Tanggul, wafat pada tahun 1998, dan dimakamkan di kompleks pemakaman Keramat Empang Bogor.

Tahun Baru, ya HijriyyahSejak kecil, Habib Hasan senang ikut dalam majelis. Ia juga senang mencium tangan orang-orang shalih dan duduk bersama mereka.
Sejak kecil pula ia ingin sekali masuk pondok pesantren, tapi, entah kenapa, ayahnya seakan tak merespons keinginannya itu.
Beberapa kali ia menanyakan ke ibunya ihwal hal itu, sang ibu hanya mengatakan, “Tak ada orangtua yang tak ingin anaknya menjadi seorang anak yang baik. Sabar saja.”
Sampai suatu ketika, setelah beberapa tahun keinginan itu tak juga pupus dari dadanya, ia dan kakaknya, Muhsin, dibawa ke studio foto. Sampai sana, mereka foto bertiga. “Takut kalau tidak ada umur,” kata sang ayah pendek, menjelaskan kenapa ia diajak untuk foto bersama.
Setelah itu, ayahnya pun mengizinkannya masuk ke pesantren.
Selama ini sang ayah merasa berat jika harus berpisah dengan anaknya. Mungkin, foto itu bisa menjadi obat rindu.
Selepas dari pesantren, sekitar tahun 1997, ia memberanikan diri membuka majelis Al-Burdah.
Setelah berjalan beberapa bulan, ia, yang saat itu belum mengantungi ijazah Al-Burdah, sengaja sampai pergi ke Surabaya demi meminta ijazah dari Habib Syekh bin Muhammad bin Husein Alaydrus, shahib majelis Burdah di Surabaya.
Sayangnya, di sana ia tak kesampaian menemui Habib Syekh. “Terus terang, hati saya khawatir. Saya mengasuh majelis Burdah, sementara saya sendiri belum mendapat ijazah Al-Burdah. Akhirnya, sementara saya berhentikan dulu majelis Al-Burdah tersebut.”
Tahun 1998, majelisnya ia mulai buka lagi. Lokasi majelisnya itu di kawasan Parung Banteng, yaitu di sekitar daerah yang dulu menjadi basis majelis Al-Walid Habib Abdurrahman Assegaf Bukit Duri, sebelum akhirnya memindahkannya ke Citayem. Tapi, saat itu ia membawakan bacaan Asma’ul Husna, bukan lagi Al-Burdah. “Alhamdulillah, kalau Asma’ul Husna, ijazahnya sudah saya dapat dari Habib Ahmad bin Abdullah Al-Attas Benhil. Setelah Habib Ahmad wafat, saya bahkan meminta ijazah kembali dari putra beliau, Habib Umar bin Ahmad Al-Attas. Belum lama, sewaktu Habib Zain Bin Smith (Madinah) datang, saya juga meminta ijazah lagi darinya,” tutur Habib Hasan.
Tahun 1999, Yayasan Majelis Ta’lim Mudzakarah Nurul Fata resmi berdiri. Di antara yang hadir saat peresmian adalah Kapolri Jenderal Rusmanhadi. Turut hadir pula dalam acara tersebut Menko Kesra Hamzah Haz dan pejabat-pejabat pemerintahan setempat. Saat itu, tak kurang dari sepuluh ribu hadirin turut menyemarakkan acara.
Di majelisnya itu, setiap Jum’at malam minggu kedua, jama’ah, yang mayoritas anak-anak muda, membaca dzikir Asma’ul Husna dan Ratib Al-Attas. Mengenai ijazah Ratib Al-Attas, tak perlu disangsikan, karena ia lahir dan besar dari seorang munshib pada salah satu keluarga Al-Attas terkemuka.
Untuk urusan dapur Nurul Fata, ia melakukannya secara mandiri, atau dengan dukungan sejumlah tokoh. “Selama penyelenggaraan Asma’ul Husna di Majelis Al-Fata, kalau ada yang memberi, kita terima. Tapi saya tidak mau menyodorkan proposal ke masyarakat,” kata Habib Hasan.
Setahun sekali, tepatnya malam tanggal 1 Muharram, Nurul Fata mengadakan acara tabligh akbar menyambut tahun baru Islam sekaligus ulang tahun Nurul Fata. Acara tabligh akbar Nurul Fata di malam tahun baru Hijriyyah itu selalu berlangsung dengan meriah.
“Kita kan umat Islam, tahun baru yang mesti dirayakan adalah tahun baru Hijriyyah. Merayakannya bukan dengan pesta pora, tapi dengan hal-hal yang bermanfaat, seperti mau’izhah hasanah, pembacaan Asma’ul Husna, sirah Nabawiyah, qashidahan, dan sebagainya. Dalam hal ini Majelis Ta’lim Nurul Fata merasa berkewajiban merayakannya pula,” kata Habib Hasan kepada alKisah.

Dari Majelis Menjadi PesantrenDari tahun ke tahun, jama’ah yang hadir dan terlibat di majelisnya semakin banyak. Saat ini saja, untuk majelis rutinan yang diselenggarakan, ada sekitar 200 orang yang hadir.
Selain menyelenggarakan majelis ilmu dan dzikir, sesekali Nurul Fata juga menggelar aktivitas sosial, di antaranya khitanan massal. Tahun kemarin, 200-an anak telah dikhitan bersamaan dengan ulang tahun Nurul Fata.
Ternyata, selama berjalan beberapa tahun Majelis Nurul Fata baru sanggup mengontrak sebuah rumah. Alhamdulillah, tahun 20009 Habib Hasan sudah membeli sebidang tanah yang cukup luas, 6.000 meter persegi. Rencananya, di atas tanah itu akan dibangun Pondok Pesantren Nurul Fata.
Setelah ‘Idul Fithri ini rencana pembangunan pondok pesantren itu akan mulai.
Masyarakat menyambut antusias rencana tersebut. Buktinya, meski pembangunan belum resmi dimulai, mereka sudah mulai bergerak sendiri sepekan sekali, tanpa ada perintah darinya atau biaya atas upah kerja mereka.
“Mereka bekerja secara mandiri atas inisiatif sendiri. Masing-masing membawa alat-alat pertukangan sendiri,” kata Habib Hasan lagi.
Mengenai perkembangan majelisnya yang terlihat pesat, Habib Hasan mengatakan, “Semua ini berkah Asma’ul Husna, atas izin Allah SWT. Juga karena keikhlasan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Mengerjakan segala sesuatu kalau ada motivasi duniawi, jangan harap ada keberkahan di dalamnya. Dan juga, diperlukan koordinasi yang bagus dengan aparat dan jajaran pemerintah.”
Rencananya, pesantrennya ini akan banyak meniru sistem pendidikan pada Pesantren Darul Lughah wad Da’wah Bangil. Hal ini, kata Habib Hasan, dikarenakan keberhasilan pesantren tersebut mencetak banyak insan dakwah sejak dulu hingga sekarang. Dan yang terpenting, penanaman akhlaq. “Akhlaq harus didahulukan dari ilmu. Itu pesan Abah kepada saya,” kata Habib Hasan.

Berkah Asma’ul HusnaSuatu ketika, Habib Hasan berkisah, salah seorang jama’ah yang dikenalnya dengan baik datang kepadanya sambil menangis. Ternyata jama’ahnya itu sedang dalam masalah dengan pembayaran listrik, yang tiba-tiba membengkak luar biasa. Rupanya, ada orang yang mencuri listriknya. Sewaktu ada pemeriksaan, listriknya disegel dan ia diwajibkan melunasi biaya denda yang cukup besar.
“Saya mengenalnya sebagai orang baik. Di antara tanda baiknya seseorang adalah ia selalu ada di setiap tempat kebaikan. Begitu pula si bapak yang satu ini, saya sering melihatnya hadir pada majelis-majelis kebaikan.
Saya katakan kepadanya, ‘Ya sudah, insya Allah besok saya datang ke PLN.’ Padahal saya tak kenal seorang pun pejabat PLN di sana.
Keesokan harinya, saya berpakaian dengan pakaian rapi, bercelana panjang dan berkemeja.
Baru masuk, ada seorang aparat yang langsung menyapa saya. Rupanya dia kepala keamanan di situ. Bersama aparat tersebut, saya diantar langsung masuk ke ruang kepala PLN.
Saya bicarakan baik-baik, mereka pun menerimanya dengan baik-baik.
Mereka kemudian mengatakan kepada saya, ‘Habib, jangan membela yang salah, karena yang memeriksa adalah Tim Sembilan.’
Saya katakan kepada mereka, ‘Tidak, saya bukan mau membela yang salah. Saya hanya melihat bahwa orang ini adalah orang baik. Saya berharap, jaringan listriknya diperiksa ulang, untuk lebih mengetahui di mana letak permasalahannya.’
Di tengah pembicaraan, tiba-tiba Pak Wali Kota menghubungi saya, dalam rangka mengundang saya untuk hadir pada majelis tasyakuran di rumahnya.
Mengetahui bahwa yang menelepon adalah wali kota, mereka tampak terkejut. Pembicaraan pun mulai melunak. ‘Habib, maaf, tapi ini tidak bisa ditolong,’ ujar kepala PLN itu lagi.
Berselang beberapa detik, giliran Kapolda Jabar yang menelepon.
Setelah itu, saya langsung disuguhi minuman. Lalu diputuskan, kasus itu pun diteliti ulang. Hasilnya, orang tersebut terbukti tak bersalah.”
Sebagai penutup obrolan dengan alKisah, Habib Hasan pun berpesan, “Insya Allah, dengan dzikir Asma’ul Husna, Allah memberikan jalan di saat kita kesusahan.”
Habib Noval bin Muhammad Al Aydrus
Habib Noval bin Muhammad Alaydrus: Melindungi Umat dari Virus Wahabi PDF Print E-mail


Lama tidak terdengar, muballigh, penerjemah, sekaligus penulis produktif, Habib Noval bin Muhammad Alaydrus, Solo, muncul dengan gebrakan baru. Berdakwah di komunitas bawah yang awam pemahaman agamanya.
Belakangan, habib muda kelahiran Solo, 27 Juli 1975, ini mengubah haluan dakwahnya. Dari yang semula berada di zona “aman”, mengisi ta’lim di berbagai masjid dan majelis secara rutin, berkumpul dalam satu komunitas tertentu dengan habaib dan kiai, kini ia harus berpindah-pindah dan keliling dari satu tempat ke tempat lain, khusunya daerah yang sebagian besar penduduknya belum tersentuh pemahaman agama secara baik. Praktis, keberadaannya jarang terlihat di permukaan.

Ini dilakukannya bukan tanpa alasan. Dewasa ini berbagai penyimpangan dalam aliran Islam semakin marak di Indonesia, wa bil khusus di Solo. Tentu kita masih ingat kasus bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS), Kepunton, Solo, Jawa Tengah, beberapa waktu silam, yang diklaim sementara orang sebagai aksi jihad.

Menurutnya, tragedi memilukan itu tak perlu terjadi, bukan hanya di Solo, namun juga di Indonesia, dan belahan bumi mana pun, bila tidak ada pembiaran terhadap berbagai aliran ekstrem. Inilah peran pemuka agama untuk membentengi aqidah umat.

Karena Hidayah Allah
Seolah mendapat ilham dari Allah SWT, mulai saat ini hingga beberapa waktu ke depan, ia akan lebih gencar membendung paham Wahabi, sebuah paham yang kerap menjadi embrio dalam pemahaman kelompok-kelompok umat yang ekstrem. Bukan dengan cara membumihanguskan paham tersebut, melainkan membentengi aqidah umat dari berbagai aliran yang menyimpang dari doktrin Ahlussunnah wal Jamaa’ah. Sebab, menurutnya, Wahabi itu sesungguhnya kecil, umatlah yang membesarkannya dengan menjadi pengikutnya.

Masih menurut Habib Noval, umat Islam yang berpaham Wahabi itu tidak akan bisa berubah dengan berbagai mau’izhah dan dialog. Mereka hanya akan berubah dengan hidayah Allah. Dialog, sehebat apa pun dan segencar apa pun, tidak efektif bila hidayah Allah belum bermain. Masalahnya, keduanya, baik Ahlussunnah maupun Wahabi, sama-sama menggunakan dalil dan hadits yang hampir sama, hanya pemahamannya yang berbeda. “Seribu ulama Wahabi dan seribu ulama Ahlusunnah, bila beradu ilmu, masing-masing tidak akan menemukan titik temu. Umumnya, seseorang yang keluar dari Wahabi bukan karena ilmu, namun hidayah dari Allah SWT,” kata habib berusia 36 tahun ini.

Ada salah satu kisah menarik di Jawa Timur. Seorang pemuda Wahabi meyakini bahwa pahala mengirim hadiah surah Al-Fatihah kepada orang yang telah meninggal tidak sampai kepadanya, dan dia berdebat habis-habisan dengan koleganya yang seorang Ahlusunnah wal Jama’ah.

Tiba-tiba datang salah seorang habib, dan diadukanlah perkara tersebut.

Menariknya, dengan ringan sang habib hanya menjawab, “Insya Allah sampai, buktikan saja sendiri.”

Malam harinya, pemuda Wahabi tersebut merasa penasaran dan ia pun ingin membuktikan saran sang habib, mengirim hadiah surah Al-Fatihah khusus untuk ayahnya, yang telah lama menghadap-Nya.

Ketika tidur di malam itu juga, ia bermimpi bertemu sang ayah. Bahkan dalam mimpinya itu ayahnya berkata, “Kenapa tidak dari dahulu kamu mengirimkan hadiah ini untuk ayah, Nak?”

Kontan saja ketika terbangun di pagi harinya ia merasa begitu trenyuh. Bahkan ia menjadi mempercayai mimpinya tersebut.

Tidak lama kemudian, ia mengisahkan mimpinya itu kepada teman debatnya. Sejak saat itu, ia pun menyakini dan selalu mengatakan kepada khalayak bahwa hadiah Al-Fatihah untuk orang yang telah meninggal itu sampai.

Artinya, perpindahan aqidah itu bukan karena ilmu, melainkan hidayah dari Allah SWT. Mungkin, seseorang yang baru mulai memasuki ajaran Wahabi masih bisa dipengaruhi dan diberi pemahaman untuk kembali. Tapi bagi yang sudah menjadi Wahabi sangat sulit. Menurut Habib Noval, mengutip perkataan Habib Ali Al-Habsyi, orang yang telah terkena penyakit Wahabi, susah sembuhnya.

Tegas sedari Awal
Sepertinya, sungguh tepat bila suami Syarifah Fathimah Qonita binti Ali Al-Habsyi, yang masih terhitung cucu Habib Anis Al-Habsyi, ini memutuskan untuk terjun ke lingkungan bawah yang selama ini awam wawasan keberagamaannya. Bukankah mencegah itu jauh lebih baik daripada mengobati?

Sebetulnya dakwah membendung paham Wahabi telah dilakukannya sejak beberapa tahun silam, semasa Habib Anis bin Alwi Al-Habsyi, guru sekaligus kakek mertuanya, masih hidup. Habib Noval merasa beruntung belajar langsung dengan habib kharismatis itu.

Sejak kecil, sepulang sekolah, mulai dari SD hingga SMA, ia, yang kini telah dianugerahi dua orang anak, selalu aktif di berbagai kegiatan di Masjid Ar-Riyadh, Solo. Yakni shalat berjama’ah, tadarus Al-Qur’an, membacaan ratib, sampai mengikuti pengajian umum secara rutin, mulai dari tema sejarah nabi atau hadits, nahwu dan fiqih, tasawuf, hingga tafsir Al-Qur’an.

Pengembaraan pencarian ilmunya pernah mengantarkannya hingga nyantri di Pondok Pesantren Darul Lughah wad Da’wah, Pasuruan, Jawa Timur, yang kala itu diasuh oleh almarhum Ustadz Hasan Baharun. Namun, sang bunda tampak berat berpisah, ia pun akhirnya hanya sempat belajar di sana selama satu semester plus masa percobaan satu bulan. Jadi kurang lebih selama tujuh bulan.

Meski begitu, waktu yang sangat singkat ini dirasakannya sangat berarti. Sebab hanya dalam kurun waktu tujuh bulan, ia telah dapat berbahasa Arab relatif baik. Ini memang menjadi motivasinya. Pasalnya, ia selalu teringat dengan pesan sang kakek, almarhum Habib Ahmad bin Abdurrahman Alaydrus, bahwa, “Jika kamu mampu menguasai bahasa Arab, kamu telah menguasai setengah ilmu.”

Setelah mendapat restu sang guru, Ustadz Hasan, di tahun 1995, Habib Noval kembali ke kampung halamannya. Sambil terus belajar kepada Habib Anis dan beberapa habib dan kiai lainnya, ia juga mulai berdakwah.

Masa-masa awal itu ia tidak terjun langsung membina umat yang rentan menjadi basis sasaran Wahabi, namun tetap menyuarakan bahayanya aliran Wahabi dan Syi’ah. “Saya sudah berani tegas sejak pertama kali berdakwah. Masa itu Habib Anis masih ada. Dalam khutbah Jum’at misalnya, saya sangat tegas menentang Syi’ah dan Wahabi, namun bahasannya tetap santun dan ilmiah. Dikenal galak, karena berani menyuarakan yang hak dan bathil,” tutur Habib Noval.

Bila dipersentasekan, keberadaan kalangan awam itu jumlahnya sangat besar. Selama ini mereka kebanyakan beragama hanya ikut-ikutan. Namun mereka amat mendambakan kebaikan, sehingga mereka pun taat mengikuti berbagai ritus ibadah. Tidak hanya yang yang wajib, namun juga yang sunnah, seperti shalawatan, tahlilan, Maulidan, dan sebagainnya. Pada gilirannya, sikap taqlid mereka itu disalahgunakan oleh sekelompok tertentu untuk menebar ajakan agar meninggalkan ajaran Ahlusunnah wal Jama’ah.

Strategi para penebar ajaran itu semakin agresif. Mereka begitu keras menuduh pengamal ritus tersebut sebagai perilaku bid’ah dan sesat, dan para pelakunya kelak akan berada di neraka. Tuduhan itu dilontarkan langsung di hadapan umat. Bukan lagi hanya melalui buku-buku. Terkadang, mereka juga menyebarkannya lewat SMS. Segala cara ini mudah saja mereka lakukan, mengingat dukungan dana yang begitu besar.

Meluruskan Stigma Negatif Bid’ah

Mengenai bid’ah, kata Habib Noval, bid’ah itu sendiri terbagi menjadi dua: bid’ah hasanah dan bid’ah dhalalah. Sayangnya selama ini kata bid’ah sudah begitu melekat dengan stigma negatif, yang setiap pelakunya itu ahli neraka. Mereka berhasil menempatkan kata bid’ah sebagi sesuatu yang buruk. “Maka saya harus berjuang merebut kembali istilah bid’ah agar tidak dikonotasikan negatif,” kata Habib Noval semangat.

Menurutnya, Syaikh Alwi Al-Maliki, yang berada di Arab Saudi, sarang Wahabi, saja tidak berdiam diri. Ia melakukan perlawanan dengan berbagai cara, baik lisan ketika berdakwah maupun tulisan dalam berbagai kitab dan bukunya. Apalagi muslim Sunni Indonesia, yang mayoritas. “Saya terpanggil, mulai saat ini harus lebih fokus memberantas paham Wahabi, terutama di Solo,” katanya kembali menegaskan.

Menyusul kesuksesan buku terdahulunya, Mana Dalilnya, yang juga ditujukan untuk menolak paham Wahabi, baru-baru ini Habib Noval meluncurkan buku terbarunya berjudul Ahlul Bid’ah Hasanah.

Sekilas buku ini memiliki kemiripan dengan buku sebelumnya. Namun menurut Habib Noval, buku ini memiliki perbedaan yang sangat signifikan. Sesuai namanya, isi buku yang dibandrol seharga empat puluh lima ribu rupiah ini mengupas dalil dan sumber berbagai amaliah Ahlusunnah wal Jama’ah yang selama ini diklaim sebagai bid’ah dan sesat, serta mencantumkan pendapat para ulama yang kuat. Lebih praktis dan tegas. “Pada buku Mana Dalilnya, saya menggunakan kerangka berpikir Wahabi. Sementara buku ini kerangka berpikirnya tengah-tengah: Wahabi dan kaum santri,” katanya.

Aqidah umat mesti diperkuat, agar tidak mudah goyah. Salah satunya dengan membaca buku Ahlul Bid’ah Hasanah.

Tampaknya, buku ini akan kembali mendulang sukses seperti buku-buku karya Habib Noval sebelumnya.
Saat ini, bila ada yang mempengaruhi dan menuduh dengan berbagai label negatif terkait dengan Ya-Sinan, tahlilan, shalawatan, misalnya, umat tidak hanya diam, apalagi terpengaruh, mereka mulai berani membantah, dengan mengutarakan dalil-dalil yang kerap disampaikan Habib Noval, atau minimal tidak terpengaruh.

Semangat habib muda ini dalam membentengi aqidah umat begitu tinggi. Untuk mendukung dakwahnya, kini Habib Noval juga merambah bisnis kaus oblong dengan berbagai gambar dan kata-kata ciri khas Ahlusunnah wal Jama’ah yang menggugah. Ini diproduksinya sendiri menggunakan label “Abah”, singkatan “Ahlul Bid’ah Hasanah”.

“Pada produksi kaus, saya menggunakan kata-kata yang menyentuh tapi tidak provokatif, seperti ziarah kubur, Ya-Sinan, tahlilan, Maulidan, kemudian diarahkan dengan menggunakan tanda panah ke kata surga. Kemudian, kalimat Lebih baik gila dzikir daripada waras namun tidak dzikir,” kata Habib Noval.

Respons masyarakat cukup besar. Produksi pertama pada Ramadhan lalu, sebanyak 750 telah habis diserbu konsumen. Saat ini produksi kedua mencetak 1.500 kaus dengan dua varian, lengan panjang dan pendek. Warnanya beragam, mulai dari putih, biru, merah, hingga hitam.

sumber :
http://majalah-alkisah.com/index.php/figur/26-profile-tokoh/949-habib-noval-bin-muhammad-alaydrus-melindungi-umat-dari-virus-wahabi

Assalamu 'Alaika Ayyuhan Nabiyyu Warahmatullahi Wabarokatuh

Video Streaming Acara Akbar "Majelis Rasulullah"