Qasidah Munajat Al Imam Al Quthb Habib Abdullah Al Haddad
Ya Rasulallah . . .
Jadikanlah sabar penolongmu..!!!( KISAH ABI QILABAH Abdullah bin Zaid Al-Jarmi)
Bagi orang yang sering mengamati isnad hadits maka nama Abu Qilabah bukanlah satu nama yang asing karena sering sekali ia disebutkan dalam isnad-isnad hadits, terutama karena ia adalah seorang perawi yang meriwayatkan hadits dari sahabat Anas bin Malik yang merupakan salah seorang dari tujuh sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu nama Abu Qilabah sering berulang-ulang seiring dengan sering diulangnya nama Anas bin Malik.Ibnu Hibban dalam kitabnya Ats-Tsiqoot menyebutkan kisah yang ajaib dan menakjubkan tentangnya yang menunjukan akan kuatnya keimanannya kepada Allah.
Nama beliau adalah Abdullah bin Zaid Al-Jarmi salah seorang dari para ahli ibadah dan ahli zuhud yang berasal dari Al-Bashroh. Beliau meriwayatkan hadits dari sahabat Anas bin Malik dan sahabat Malik bin Al-Huwairits –radhiallahu ‘anhuma- . Beliau wafat di negeri Syam pada tahun 104 Hijriah pada masa kekuasaan Yazid bin Abdilmalik.
Abdullah bin Muhammad berkata, “Aku keluar menuju tepi pantai dalam rangka untuk mengawasi (menjaga) kawasan pantai (dari kedatangan musuh)…tatkala aku tiba di tepi pantai, tiba-tiba aku telah berada di sebuah dataran lapang di suatu tempat (di tepi pantai) dan di dataran tersebut terdapat sebuah kemah yang di dalamnya ada seseorang yang telah buntung kedua tangan dan kedua kakinya, dan pendengarannya telah lemah serta matanya telah rabun. Tidak satu anggota tubuhnyapun yang bermanfaat baginya kecuali lisannya, orang itu berkata, “Ya Allah, tunjukilah aku agar aku bisa memuji-Mu sehingga aku bisa menunaikan rasa syukurku atas kenikmatan-kenikmatan yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan Engkau sungguh telah melebihkan aku diatas kebanyakan makhluk yang telah Engkau ciptakan”“
Abdullah bin Muhammad berkata, “Demi Allah aku akan mendatangi orang ini, dan aku akan bertanya kepadanya bagaimana ia bisa mengucapkan perkataan ini, apakah ia faham dan tahu dengan apa yang diucapkannya itu?, ataukah ucapannya itu merupakan ilham yang diberikan kepadanya??.
Maka akupun mendatanginya lalu aku mengucapkan salam kepadanya, lalu kukatakan kepadanya, “Aku mendengar engkau berkata “Ya Allah, tunjukilah aku agar aku bisa memujiMu sehingga aku bisa menunaikan rasa syukurku atas kenikmatan-kenikmatan yang telah Engkau anugrahkan kepadaku dan Engkau sungguh telah melebihkan aku diatas kebanyakan makhluk yang telah Engkau ciptakan“, maka nikmat manakah yang telah Allah anugerahkan kepadamu sehingga engkau memuji Allah atas nikmat tersebut?? dan kelebihan apakah yang telah Allah anugerahkan kepadamu hingga engkau mensukurinya??”
Orang itu berkata, “Tidakkah engkau melihat apa yang telah dilakukan oleh Robku kepadaku? Demi Allah, seandainya Ia mengirim halilintar kepadaku hingga membakar tubuhku atau memerintahkan gunung-gunung untuk menindihku hingga menghancurkan tubuhku, atau memerintahkan laut untuk menenggelamkan aku, atau memerintahkan bumi untuk menelan tubuhku, maka tidaklah hal itu kecuali semakin membuat aku bersyukur kepadaNya, karena Ia telah memberikan kenikmatan kepadaku berupa lidah (lisan)ku ini. Namun, wahai hamba Allah, engkau telah mendatangiku maka aku perlu bantuanmu, engkau telah melihat kondisiku. Aku tidak mampu untuk membantu diriku sendiri atau mencegah diriku dari gangguan, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku memiliki seorang putra yang selalu melayaniku, di saat tiba waktu sholat ia mewudhukan aku, jika aku lapar maka ia menyuapiku, jika aku haus maka ia memberikan aku minum, namun sudah tiga hari ini aku kehilangan dirinya. Maka tolonglah aku, carilah kabar tentangnya –semoga Allah merahmati engkau-”.
Aku berkata, “Demi Allah tidaklah seseorang berjalan menunaikan keperluan seorang saudaranya yang ia memperoleh pahala yang sangat besar di sisi Allah, lantas pahalanya lebih besar dari seseorang yang berjalan untuk menunaikan keperluan dan kebutuhan orang yang seperti engkau”.
Maka akupun berjalan mencari putra orang tersebut hingga tidak jauh dari situ aku sampai di suatu gundukan pasir. Tiba-tiba aku mendapati putra orang tersebut telah diterkam dan dimakan oleh binatang buas. Akupun mengucapkan inna lillah wa inna ilaihi roji’uun. Aku berkata, “Bagaimana aku mengabarkan hal ini kepada orang tersebut??”. Dan tatkala aku tengah kembali menuju orang tersebut, maka terlintas di benakku kisah Nabi Ayyub ‘alaihi as-Salam. Lalu aku menemui orang tersebut dan akupun mengucapkan salam kepadanya lalu ia menjawab salamku dan berkata, “Bukankah engkau adalah orang yang tadi menemuiku?”, aku berkata, “Benar”. Ia berkata, “Bagaimana dengan permintaanku kepadamu untuk membantuku?”.
Akupun berkata kepadanya, “Engkau lebih mulia di sisi Allah ataukah Nabi Ayyub ‘alaihis Salam?”, ia berkata, “Tentu Nabi Ayyub ‘alaihis Salam “, aku berkata, “Tahukah engkau cobaan yang telah diberikan Allah kepada Nabi Ayyub?, bukankah Allah telah mengujinya dengan hartanya, keluarganya, serta anaknya?”, orang itu berkata, “Tentu aku tahu”. Aku berkata, “Bagaimanakah sikap Nabi Ayyub dengan cobaan tersebut?”, ia berkata, “Nabi Ayyub bersabar, bersyukur, dan memuji Allah”.
Aku berkata, “Tidak hanya itu, bahkan ia dijauhi oleh karib kerabatnya dan sahabat-sahabatnya”. Ia berkata, “Benar”. Aku berkata, “Bagaimanakah sikapnya?”, ia berkata, “Ia bersabar, bersyukur dan memuji Allah”. Aku berkata, “Tidak hanya itu, Allah menjadikan ia menjadi bahan ejekan dan gunjingan orang-orang yang lewat di jalan, tahukah engkau akan hal itu?”, ia berkata, “Iya”, aku berkata, “Bagaimanakah sikap nabi Ayyub?” Ia berkata, “Ia bersabar, bersyukur, dan memuji Allah, langsung saja jelaskan maksudmu –semoga Allah merahmatimu-!!”.
Aku berkata, “Sesungguhnya putramu telah aku temukan di antara gundukan pasir dalam keadaan telah diterkam dan dimakan oleh binatang buas, semoga Allah melipatgandakan pahala bagimu dan menyabarkan engkau”. Orang itu berkata, “Segala puji bagi Allah yang tidak menciptakan bagiku keturunan yang bermaksiat kepadaNya lalu Ia menyiksanya dengan api neraka”, kemudian ia berkata, “Inna lillah wa inna ilaihi roji’uun“, lalu ia menarik nafas yang panjang lalu meninggal dunia.
Aku berkata, “Inna lillah wa inna ilaihi roji’uun“, besar musibahku, orang seperti ini jika aku biarkan begitu saja maka akan dimakan oleh binatang buas, dan jika aku hanya duduk maka aku tidak bisa melakukan apa-apa[2]. Lalu akupun menyelimutinya dengan kain yang ada di tubuhnya dan aku duduk di dekat kepalanya sambil menangis.
Tiba-tiba datang kepadaku empat orang dan berkata kepadaku “Wahai Abdullah, ada apa denganmu?, apa yang telah terjadi?”. Maka akupun menceritakan kepada mereka apa yang telah aku alami. Lalu mereka berkata, “Bukalah wajah orang itu, siapa tahu kami mengenalnya!”, maka akupun membuka wajahnya, lalu merekapun bersungkur mencium keningnya, mencium kedua tangannya, lalu mereka berkata, “Demi Allah, matanya selalu tunduk dari melihat hal-hal yang diharamkan oleh Allah, demi Allah tubuhnya selalu sujud tatkala orang-orang dalam keadaan tidur!!”.
Aku bertanya kepada mereka, “Siapakah orang ini –semoga Allah merahmati kalian-?”, mereka berkata, Abu Qilabah Al-Jarmi sahabat Ibnu ‘Abbas, ia sangat cinta kepada Allah dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu kamipun memandikannya dan mengafaninya dengan pakaian yang kami pakai, lalu kami menyolatinya dan menguburkannya, lalu merekapun berpaling dan akupun pergi menuju pos penjagaanku di kawasan perbatasan.
Tatkala tiba malam hari, akupun tidur dan aku melihat di dalam mimpi ia berada di taman surga dalam keadaan memakai dua lembar kain dari kain surga sambil membaca firman Allah
Lalu aku berkata kepadanya, “Bukankah engkau adalah orang yang aku temui?”, ia berkata, “Benar”, aku berkata, “Bagaimana engkau bisa memperoleh ini semua”, ia berkata, “Sesungguhnya Allah menyediakan derajat-derajat kemuliaan yang tinggi yang tidak bisa diperoleh kecuali dengan sikap sabar tatkala ditimpa dengan bencana, dan rasa syukur tatkala dalam keadaan lapang dan tentram bersama dengan rasa takut kepada Allah baik dalam keadaan bersendirian maupun dalam kaeadaan di depan khalayak ramai”
Salamah bin al-Akwa’ – Pahlawan Pasukan Jalan Kaki
Puteranya, Ilyas ingn menyimpulkan keutamaan bapaknya dalam suatu kalimat singkat, katanya:
“Bapakku tak pernah berdusta….!” Memang, untuk mendapatkan kedudukan tinggi di antara orang-orang shaleh dan budiman, cukuplah bagi seseorang memiliki sifat-sifta ini. Dan Salamah bin al-Akwa’ telah memilikinya, suatu hal yang memang wajar baginya.
Salamah adalah salah seorang pemanah arab yang terkenal, juga terbilang tokoh yang berani, dermawan dan gemar berbuat kebajikan. Dan ketika ia menyerahkan dirinya menganut agama Islam, diserahkannya secara benar dan sepenuh hati, hingga ditempalah oleh agama itu sesuai dengan coraknya yang agung.
Salamah bin al-Akwa’ termasuk pula tokoh-tokoh Bai’atur Ridwan. *** Ketika pada tahun 6 H, Rasulullah sawa bersama para sahabat berangkat dari Madinah dengan maksud hendak berziarah ke Ka’bah, tetapi dihalangi oleh orang-orang QUraisy, maka Rasulullah mengutus Utsman bin Affan untuk menyampaikan kepada mereka bahwa tujuan kunjungannya hanyalah untuk berziarah dan sekali-kali bukan untuk berperang.
Sementara menunggu kembalinya Utsman, tersiar berita bahwa ia telah dibunuh oleh orang-orang QUraisy. Rasulullah lalu duduk di bawah naungan sebatang pohon menerima bai’at sehidup semati dari sahabatnya seorang demi seorang.
Bercerita Salamah:
“Aku mengangkat bai’at kepada Rasulullah di bawah pohon, dengan pernyataan menyerahkan jiwa ragaku untuk Islam, lalu aku mundur dari tempat itu. Tatkala mereka tidak banyak lagi, Rasulullah bertanya: “Hai Salamah, kenapa kamu tidak ikut bai’at?”
“Aku telah bai’at, wahai Rasulullah” ujarku
“Ulanglah kembali” titah Nabi. Maka kuucapkanlah bai’at itu kembali”
Dan Salamah telah memenuhi isi baiat itu sebaik-baiknya. Bahkan sebelum diikrarkannya, yakni semenjak mengucapkan “Asyhadu alla ilaha illallah, wa-asyhadu anna Muhammadar Rasulullah”, maksud bai’at itu telah dilaksanakan.
Kata Salamah: “Aku berperang bersama Rasulullah sebanyak tujuh kali, dan bersama Zaid bin Haritsah sebanyak sembilan kali”
Salamah terkenal sebagai tokoh paling mahir dalam peperangan jalan kaki, dan dalam memanah serta melemparkan tombak dan lembing. Siasat yang dijalankannya serupa dengan perang gerilya yang kita jumpai sekarang ini. jika musuh datang menyerang, ia menarik pasukannya mundur ke belakang. Tetapi bila mereka kembali untuk berhenti atau istirahat, maka diserangnya mereka tanpa ampun.
Dengan siasat seperti ini ia mapu seorang diri menghalau tentara yang menyerang luar kota Madinah di bawah pimpinan Uyainah bin Hishan al-Fizari dalamsuatu peperangan yang disebut perang Dzi Qarad. Ia pergi membututi mereka seorang diri, lalu memerangi dan menghalau mereka dari Madinah, hingga akhirnya datanglah Nabi membawa bala bantuan yang terdiri dari sahabat-sahabatnya.
Pada hari itulah Rasulullah menyatakan kepada para sahabatnya: “Tokoh pasukan jalan kaki kita yang terbaik ialaha Salamah bin al-Akwa’…”
Tidak pernah Salamah berhati kesal dan merasa kecewa kecuali ketika tewas sauadaranya yang bernama ‘Amir bin al-Akwa’ di perang Khaibar.
Ketika itu ‘Amir mengucapkanpantun dengan suara keras di hadapan tentara Islam, katanya:
“Kalo tidak karenaMu tidaklah kami kan dpaat hidayat.
Tidak akan shalat dan tidak pula akan berzakat.
Maka turunkanlah ketetapan ke dalam hati kami.
Dan dalam berperang nanti, teguhkanlah kaki-kaki kami”.
Dalam peperangan itu ‘Amir memukulkan pedangnya kepada salah seorang musyrik. Akan tetapi rupanya pedang yang digenggamnya hulunya itu melantur dan terbalik hingga menghujam pada ubun-ubunnya yang menyebabkan kematiannya.
Beberapa orang Islam berkata:”Kasihan ‘Amir…!, ia terhalang mendapatkan mati syahid”
Maka pada saat itu – ya, hanya sekali itulah, tidak lebih- Salamah merasa amat kecewa sekali. Ia menyangka sebagai sangkaan sahabat-sahabatnya bahwa saudaranya ‘Amir itu tidak mendapatkan pahala berjihad dan sebutan mati syahid, disebabkan ia telah bunuh diri tanpa sengaja.
Tetapi Rasulullah yang pengasih itu segera mendudukkan perkara pada tempat yang sebenarnya, yakni ketika Salamah datang kepadanya bertanya:”Wahai Rasulullah, betulkah pahala ‘Amir itu guugur..?”
Maka jawab Rasulullah saw:
Ia gugur bagai pejuang
Bahkan mendapat dua macam pahala
Dan sekarang ia sedang berenang
DI sungai-sungia syurga…
Kedermawanan Salamah cukup terkenal, tetapi ada hal yang luar biasa, hingga ia akan mengabulkan permintaan orang termasuk jiwanya apapbila permintaan itu atas nama Allah.
Hal ini rupanya diketahui oleh orang-orang itu. Maka jika seseorang ingin tuntutannya berhasil, ia akan mengatakan kepadanya:”Kuminta kepada anda atas nama Allah…” Mengenai hal ini Salamah pernah berkata: “Jika bukan atas nama Allah, atas nama siapalagi kita akan memberi?”
***
Sewaktu Utsman ra. di bunuh orang, pejuang yang perkasa ini merasa bahawa api fitnah telah menyulut kaum muslimin. Ia seorang yang telah menghabiskan usianya selama ini berjuang bahu-membahu dengan saudara seagamanya, tak sudi berperang menghadapi saudara sesamanya!
Benar..seorang tokoh telah mendapat pujian dari rasulullah tentang keahliannya dalam memerangi orang-orang musyrik, tidaklah pada tempatnya ia menggunakan keahliannya itu dalam memerangiatau membunuh orang-orang mukmin. Itulah sebabnya ia mengemasi barang-barangnya lalu meninggalkan Madinah berangkat menuju Rabdzah, yaitu kampung yang dipilih oleh Abu Dzar dulu sebagai tempat hijrah dan pemukiman barunya.
Maka di Rabdzah ini salamah melanjutkan sisa hidupnya. pada suatu gari di tahun 74 H, hatinya merasa rindu berkunjung ke Madinah. Maka berangkatlah ia untuk memenuhi lerinduannya itu. Ia tinggal di Madinah satu dua hari dan pada hari ketiga iapun wafat…
Demikianlah rupanya tanahnya yang tercinta dan lemut empuk itu memanggil puteranya ini untuk merangkul ke dalam pelukannya dan memberikan ruangan baginya di lingkungan sahabat-sahabatnya yang memperoleh berkah bersama para syuhada yang shalih.
sumber: Karakteristik Perihidup Enam Puluh Sahabat Rasulullah
Nusaibah binti Ka’ab: Srikandi Penolong Rasulullah
DI SEKELILING Rasulullah SAW terdapat terdapat para lelaki dan wanita (baca: para shahabat dan shahabiyah) dengan keimanan dan konsistensi tiada bandingannya. Mereka adalah orang-orang yang berani, dermawan, santun, dan mengasihi orang lain.
Tak terhitung lagi banyaknya literatur sejarah yang acapkali memuji kontribusi para sahabat Rasulullah SAW, namun penting juga rasanya memeras tenaga untuk menelisik informasi yang ada tentang kontribusi para shahabiyah (sahabat wanita) Rasulullah. Di antara sekian banyak dari mereka, salah satunya adalah Nusaibah binti Ka’ab r.a. yang –bersama keluarganya—dikenal sebagai sosok yang humanis dan sering berderma.
Di berbagai kitab hadits dan sirah (sejarah), Nusaibah dikenal dengan julukan ‘Ummu Imarah.’ Setelah mendengar Islam dan mengetahuinya, wanita yang memeluk Islam pada permulaan Islam muncul ini ikut pergi bersama kaum lelaki dari Madinah ke Makkah untuk bergabung dengan komunitas muslim di bawah bimbingan Nabi Muhammad.
…Nusaibah menjadi salah satu shahabiyah terkemuka yang disegani banyak orang, karena superioritasnya, terutama keberanian ketika membela Rasulullah pada Perang Uhud…
Nusaibah kemudian menjadi salah satu shahabiyah terkemuka yang disegani banyak orang. Hal ini dikarenakan superioritasnya, terutama keberanian yang didemonstrasikannya ketika membela Rasulullah pada Perang Uhud. Ketika itu, pada perang tersebut dia bergabung dengan pasukan Islam untuk mengemban tugas penting dalam bidang humanitarian. Bersama para wanita lainnya, Nusaibah ikut memasok air kepada para prajurit muslim dan mengobati mereka yang terluka.
Sejatinya, sungguh sangat tidak biasa bagi seorang wanita untuk ikut berpartisipasi di medan perang. Namun mereka memiliki peran penting dalam mengerahkan pasukan, memacu semangat mereka dengan senandung jihad, memuaskan dahaga para prajurit yang kehausan setiap kali cuaca panas menyengat, dan yang terpenting adalah mengobati para prajurit terluka.
Kita dapat mengetahui keberanian Nusaibah pada Perang Uhud dikarenakan pada perang tersebut banyak hal-hal yang tidak berjalan mulus. Pada prosesnya, nyawa Nabi Muhammad Saw. pun berada dalam bahaya. Meski tidak dapat disebutkan peristiwa-peristiwa detil pada perang tersebut, tapi penting untuk menyebutkan bahwa ketika pasukan pemanah di bawah komando Abdullah bin Jubair mengabaikan instruksi Rasulullah dan meninggalkan pos mereka, seketika itu juga pasukan musuh di bawah komando Khalid bin Al-Walid merangsek naik menempati pos mereka.
Dalam sebuah hadits shahih dinyatakan bahwa dalam perang tersebut sedikitnya 70 sahabat terluka dan banyak lainnya yang mati syahid.
…Ketika melihat Rasulullah menangkis berbagai serangan musuh sendirian, Nusaibah segera mempersenjatai dirinya dan membentuk sebuah formasi pertahanan untuk melindungi Rasulullah…
Ketika melihat Rasulullah menangkis berbagai serangan musuh sendirian, lalu Nusaibah segera mempersenjatai dirinya dan bergabung dengan yang lainnya membentuk sebuah formasi pertahanan untuk melindungi Rasulullah. Berbagai buku sejarah mencatat bahwa ketika itu Nusaibah berperang penuh keberanian dan tidak menghiraukan dirinya dalam membela beliau.
Meski akhirnya kaum muslimin mendapatkan kemenangan di Perang Uhud, sejatinya perang tersebut mencatat sejumlah pelajaran penting yang harus dicamkan kaum muslimin. Di sejumlah pelajaran penting tersebut terselip sebuah nota peranan penting Nusaibah dan keluarganya yang telah berjibaku bersusah payah membela Nabi Muhammad.
Dalam rangka membela Nabi Muhammad, Nusaibah sendiri menderita luka-luka, ada sekitar 12 luka di tubuhnya dengan luka di lehernya yang cukup parah. Namun hebatnya dia tidak pernah mengeluh, mengadu, atau bersedih. Dia justru memohon kepada Rasulullah agar mendoakan diri dan keluarganya agar kelak bisa bergabung bersama beliau di surga. Dan Rasul pun mengabulkan permintaannya.
Dalam sejarah Islam, selain disebut-sebut sebagai salah satu sahabat pionir dan berani, Nusaibah juga dinyatakan sebagai seorang wanita yang memiliki kesabaran luar biasa dan selalu mendahulukan kepentingan orang lain dari dirinya sendiri. Salah seorang putranya kemudian syahid di pertempuran selanjutnya. Nusaibah menerimanya dengan penuh keyakinan bahwa putranya mendapatkan kedudukan tinggi di sisi Allah, dan menerima berita kematian itu dengan penuh kemuliaan serta kebanggaan.
Tidak hanya Perang Uhud, Nusaibah bersama suami dan putra-putranya ikut dalam, Peristiwa Hudaibiyah, Perang Khaibar, Perang Hunain dan Perang Yamamah. Dalam berbagai pertempuran itu, Nusaibah tidak hanya membantu mengurus logistik dan merawat orang-orang yang terluka. Lebih dari itu, dia juga terjun ke medan perang dan mengangkat senjata. Bahkan pada Perang Yamamah, selain mendapat sebelas luka, tangannya juga terpenggal oleh musuh.
Setelah Rasulullah SAW meninggal dunia, sebagian kaum muslimin kembali murtad dan enggan berzakat. Abu Bakar Ash-Shiddiq yang menjadi khalifah pada waktu itu segera membentuk pasukan untuk memerangi mereka. Abu Bakar mengirim surat kepada Musailamah Al-Kadzdzab dan menunjuk Habib, putranya Nusaibah, sebagai utusannya.
…Pada Perang Yamamah, Nusaibah dan putranya Abdullah ikut memerangi Musailamah sampai dia tewas di tangan mereka berdua…
Musailamah memerintahkan Habib untuk menyatakan bahwa dia adalah utusan Allah, namun Habib menolaknya dengan alasan bahwa dia tuli. Musailamah yang merasa marah akhirnya menyiksa Habib dengan memotong anggota tubuhnya satu persatu sampai syahid. Meninggalnya Habib meninggalkan luka yang dalam di hati Nusaibah. Pada Perang Yamamah, Nusaibah dan putranya Abdullah ikut memerangi Musailamah sampai dia tewas di tangan mereka berdua. Beberapa tahun setelah peristiwa Perang Yamamah, Nusaibah meninggal dunia. Yassarallahu hisabaki wa yammanallahu kitabaki! [dari berbagai sumber]
Thufail bin Amru: Wajahnya Memancarkan Kemuliaan
Kisah seorang sahabat yang jarang terdengar dan dikisahkan dengan kemuliaan Allah telah diberi petunjuk untuk mendapatkan apa yang dicita citakan. Mengislamkan kaumnya, dengan bukti dan tanda di kening yang selalu memancarkan sinar sebagai janji Rasulullah kepadanya.
Dia Ath- Thufail bin Amru Ad-Dausi, berasal dari kabilah Daus Zahran, termasuk keturunan bangsawan. Dia seorang penyair yang lihai berbicara, orator ulung, dan piawai dalam mempengaruhi orang. Cepat dalam berpikir sigap dalam bertindak.
Dia telah sampai di Makkah bertemu dengan orang¬-orang kafir Quraisy.
Mereka berkata, “Jangan engkau dekati dia, karena dia adalah tukang sihir, penyair, dukun dan orang gila. Berhati¬-hatilah, jangan engkau dengarkan omongannya.” Ath- Thufail menuturkan, “Demi Allah! Mereka tetap menakut-nakutiku sehingga aku mengambil kapas, lalu kusumbatkan ke telingaku.”
Ath-Thufail berkata, “Aku mendengar beliau Saw membaca, tetapi aku tidak mendengar, karena di telingaku ada kapasnya. Lalu ia melepas kapas tersebut dan inilah langkah pertama yang dilakukannya. Rasulullah mulai membaca ayat-ayat Al Qur’an. Setelah ia mendengar perkataan tersebut, terjadi sesuatu pada dirinya. Apakah orang kafir jika memiliki akal mampu mendengar,mampu berpikir dan mampu bertindak atau mereka lupa dan pura pura tidak tahu.
“Qaaf, demi Al Qur ‘an yang sangat mulia. (Mereka tidak menerimanya), bahkan mereka tercengang karena telah datang kepada mereka seorang pemberi peringatan dari mereka sendiri, maka berkatalah orang-orang kafir, “lni adalah suatu yang amat ajaib’. ” (Qs. Qaaf (50): 1-2)
Secara spontan Thufailpun pun berkata, bersyahadat, masuk Islam. Maka Rasulullah SAW menyuruhnya untuk kembali ke kabilahnya dan mendakwahi mereka. Thufail pun kembali sebagai seorang juru dakwah. Namun kabilahnya tetap kafIr. Perbuatan zina telah menguasai mereka. Maka Thufail menemui Rasulullah Saw : ”Berdoalah untuk kebinasaan mereka, wahai Rasulullah!”
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Qs. Al Qalam (68): 4) “Lalu Rasulullah membaca Qs. Ali ‘Imran (3): 159) dan Qs. At – Taubah (9): 128)
Lalu Rasulullah Saw mengangkat kedua tangannya, hendak berdoa untuk kebaikan mereka. Rasulullah Saw bersabda, “Ya Allah, berikanlah petunjuk kepada kabilah Daus dan datangkanlah (petunjuk tersebut) kepada mereka. Ya Allah, berikanlah petunjuk kepada kabilah Daus dan datangkanlah kepada mereka. Ya Allah, berikanlah petunjuk kepada kabilah Daus dan datangkanlah kepada mereka.”
Thufail meminta kepada Rasul Saw supaya menjadikan untuknya suatu bukti. Rasulullah berdoa untuknya, maka tampaklah cahaya di dahinya yang dapat bersinar di malam hari. Tapi karena takut disangka penyakit, ia meminta Rasulullah memindahkan sinarnya ke tongkatnya. Maka dipindahkanlah cahaya itu ke tongkat. Jika ia mengangkat tongkatnya, bersinarlah bukit¬-bukit Zahran.
Kepada kabilahnya, yang telah bersiap-siap, sebagaimana doa Rasulullah SAW. Thufail berkata, “Aku menyeru kalian kepada kalimat ‘Laa ilaaha illallah Muhammadur-Rasulullah’ (Tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah).” Kemudian ia memperlihatkan bukti kepada mereka. Semua orang pun masuk Islam, dengan berbondong-bondong.
Thufail dan rombongan besarnya ikut pertempuran Aramram setelah hijrah ke Madinah. Selanjutnya, Ath- Thufail terus-menerus berdakwah dan berjihad, hingga ia mati syahid dalam perang Yamamah.
Ruqoyyah dan Ummu Kultsum radhiallahu ‘anhuma Kisah Perjalanan Dua Cahaya
Tumbuh beriringan bak dua kuntum bunga, berhias keindahan. Lepas dari belenggu ikatan, bertabur kemuliaan. Berlabuh di sisi kekasih nan dermawan, sang pemilik dua cahaya.
Lahir dua orang putri dari rahim ibunya, Khadijah bintu Khuwailid bin Asad bin ‘Abdil ‘Uzza radhiallahu ‘anha. Menyandang nama Ruqayyah dan Ummu Kultsum radhiallahu ‘anhuma, di bawah ketenangan naungan seorang ayah yang mulia, Muhammad bin ‘Abdillah bin ‘Abdil Muththalib Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebelum datang masa sang ayah diangkat sebagai nabi Allah, Ruqayyah disunting oleh seorang pemuda bernama ‘Utbah, putra Abu Lahab bin ‘Abdul Muththalib, sementara Ummu Kultsum menikah dengan saudara ‘Utbah, ‘Utaibah bin Abi Lahab. Namun, pernikahan itu tak berjalan lama. Berawal dengan diangkatnya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai nabi, menyusul kemudian turun Surat Al-Lahab yang berisi cercaan terhadap Abu Lahab, maka Abu Lahab dan istrinya, Ummu Jamil, menjadi berang. Dia berkata kepada dua putranya, ‘Utbah dan ‘Utaibah yang menyunting putri-putri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Haram jika kalian berdua tidak menceraikan kedua putri Muhammad!”
Kembalilah dua putri yang mulia ini dalam keteduhan naungan ayah bundanya, sebelum sempat dicampuri suaminya. Bahkan dengan itulah Allah selamatkan mereka berdua dari musuh-musuh-Nya. Ruqayyah dan Ummu Kultsum pun berislam bersama ibunda dan saudari-saudarinya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan ganti yang jauh lebih baik. Ruqayyah bintu Rasulullah radhiallahu ‘anha disunting oleh seorang sahabat mulia, ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu.
Sebagaimana kaum muslimin yang lain, mereka berdua menghadapi gelombang ujian yang sedemikian dahsyat melalui tangan kaum musyrikin Mekkah dalam menggenggam keimanan. Hingga akhirnya, pada tahun kelima setelah nubuwah, Allah Subhanahu wa Ta’ala bukakan jalan untuk hijrah ke bumi Habasyah, menuju perlindungan seorang raja yang tidak pernah menzalimi siapa pun yang ada bersamanya. ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu membawa istrinya di atas keledai, meninggalkan Mekkah, bersama sepuluh orang sahabat yang lainnya, berjalan kaki menuju pantai. Di sana mereka menyewa sebuah perahu seharga setengah dinar.
Di bumi Habasyah, Ruqayyah radhiallahu ‘anha melahirkan seorang putra yang bernama ‘Abdullah. Akan tetapi, putra ‘Utsman ini tidak berusia panjang. Suatu ketika, ada seekor ayam jantan yang mematuk matanya hingga membengkak wajahnya. Dengan sebab musibah ini, ‘Abdullah meninggal dalam usia enam tahun.
Perjalanan mereka belum berakhir. Saat kaum muslimin meninggalkan negeri Makkah untuk hijrah ke Madinah, mereka berdua pun turut berhijrah ke negeri itu. Begitu pun Ummu Kultsum radhiallahu ‘anha, berhijrah bersama keluarga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Selang berapa lama mereka tinggal di Madinah, bergema seruan perang Badr. Para sahabat bersiap untuk menghadapi musuh-musuh Allah. Namun bersamaan dengan itu, Ruqayyah bintu Rasulullah radhiallahu ‘anha diserang sakit. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahkan ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu untuk tetap tinggal menemani istrinya.
Ternyata itulah pertemuan mereka yang terakhir. Di antara malam-malam peristiwa Badr, Ruqayyah bintu Rasulullah radhiallahu ‘anha kembali ke hadapan Rabbnya karena sakit yang dideritanya. ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu sendiri yang turun untuk meletakkan jasad istrinya di dalam kuburnya.
Saat diratakan tanah pekuburan Ruqayyah radhiallahu ‘anha, terdengar kabar gembira kegemilangan pasukan muslimin melibas kaum musyrikin yang diserukan oleh Zaid bin Haritsah radhiallahu ‘anhu. Kedukaan itu berlangsung bersama datangnya kemenangan, saat Ruqayyah bintu Muhammad radhiallahu ‘anha pergi untuk selama-lamanya pada tahun kedua setelah hijrah.
Sepeninggal Ruqayyah radhiallahu ‘anha, ‘Umar bin Al Khaththab radhiallahu ‘anhu menawarkan kepada ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu untuk menikah dengan putrinya, Hafshah bintu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma yang kehilangan suaminya di medan Badr. Namun saat itu ‘Utsman dengan halus menolak. Datanglah ‘Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu ke hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadukan kekecewaannya.
Ternyata Allah Subhanahu wa Ta’ala memilihkan yang lebih baik dari itu semua. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminang Hafshah radhiallahu ‘anha untuk dirinya, dan menikahkan ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu dengan putrinya, Ummu Kultsum radhiallahu ‘anha. Tercatat peristiwa ini pada bulan Rabi’ul Awwal tahun ketiga setelah hijrah.
Enam tahun berlalu. Ikatan kasih itu harus kembali terurai. Ummu Kultsum radhiallahu ‘anha kembali ke hadapan Rabbnya pada tahun kesembilan setelah hijrah, tanpa meninggalkan seorang putra pun bagi suaminya. Jasadnya dimandikan oleh Asma’ bintu ‘Umais dan Shafiyah bintu ‘Abdil Muththalib radhiallahu ‘anhuma. Tampak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menshalati jenazah putrinya. Setelah itu, beliau duduk di sisi kubur putrinya. Sembari kedua mata beliau berlinang air mata, beliau bertanya, “Adakah seseorang yang tidak mendatangi istrinya semalam?” Abu Thalhah menjawab, “Saya.” Kata beliau, “Turunlah!”
Jasad Ummu Kultsum radhiallahu ‘anha dibawa turun dalam tanah pekuburannya oleh ‘Ali bin Abi Thalib, Al-Fadhl bin Al-‘Abbas, Usamah bin Zaid serta Abu Thalhah Al-Anshari radhiallahu ‘anhu. Ruqayyah dan Ummu Kultsum, dua putri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, semoga Allah meridhai keduanya. Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
Biografi Siti Aisyah
Siti Aisyah memiliki gelar ash-Shiddiqah, sering dipanggil dengan Ummu Mukminin, dan nama keluarganya adalah Ummu Abdullah. Kadang-kadang ia juga dijuluki Humaira’. Namun Rasulullah sering memanggilnya Binti ash-Shiddiq. Ayah Aisyah bernama Abdullah, dijuluki dengan Abu Bakar. Ia terkenal dengan gelar ash-Shiddiq. Ibunya bernama Ummu Ruman. Ia berasal dari suku Quraisy kabilah Taimi di pihak ayahnya dan dari kabilah Kinanah di pihak ibu.
Sementara itu, garis keturunan Siti Aisyah dari pihak ayahnya adalah Aisyah binti Abi Bakar ash-Shiddiq bin Abi Quhafah Utsman bin Amir bin Umar bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Fahr bin Malik. Sedangkan dari pihak ibu adalah Aisyah binti Ummu Ruman binti Amir bin Uwaimir bin Abd Syams bin Itab bin Adzinah bin Sabi’ bin Wahban bin Harits bin Ghanam bin Malik bin Kinanah.
Siti Aisyah lahir pada bulan Syawal tahun ke-9 sebelum hijrah, bertepatan dengan bulan Juli tahun 614 Masehi, yaitu akhir tahun ke-5 kenabian. Kala itu, tidak ada satu keluarga muslim pun yang menyamai keluarga Abu Bakar ash-Shiddiq dalam hal jihad dan pengorbanannya demi penyebaran agama Islam. Rumah Abu Bakar saat itu menjadi tempat yang penuh berkah, tempat makna tertinggi kemuliaan, kebahagiaan, kehormatan, dan kesucian, dimana cahaya mentari Islam pertama terpancar dengan terang.
Dari perkembangan fisik, Siti Aisyah termasuk perempuan yang sangat cepat tumbuh dan berkembang. Ketika menginjak usia sembilan atau sepuluh tahun, ia menjadi gemuk dan penampilannya kelihatan bagus, padahal saat masih kecil, ia sangat kurus. Dan ketika dewasa, tubuhnya semakin besar dan penuh berisi. Aisyah adalah wanita berkulit putih dan berparas elok dan cantik. Oleh karena itu, ia dikenal dengan julukan Humaira’ (yang pipinya kemerah-merahan). Ia juga perempuan yang manis, tubuhnya langsing, matanya besar, rambutnya keriting, dan wajahnya cerah.
Tanda-tanda ketinggian derajat dan kebahagiaan telah tampak sejak Siti Aisyah masih kecil pada perilaku dan grak-geriknya. Namun, seorang anak kecil tetaplah anak kecil, dia tetap suka bermain-main. Walau masih kecil, Aisyah tidak lupa tetap menjaga etika dan adab sopan santun ajaran Rasulullah di setiap kesempatan.
Pernikahan Rasulullah dengan Siti Aisyah merupakan perintah langsung dari Allah, setelah wafatnya Siti Khadijah. Setelah dua tahun wafatnya Khadijah, turunlah wahyu kepada kepada Rasulullah untuk menikahi Aisyah, kemudian Rasulullah segera mendatangi Abu Bakar dan istrinya, mendengar kabar itu, mereka sangat senang, terlebih lagi ketika Rasulullah setuju menikahi putri mereka. Maka dengan segera disuruhlah Aisyah menemui beliau.
Pernikahan Rasulullah dengan Siti Aisyah terjadi di Mekkah sebelum hjirah pada bulan Syawal tahun ke-10 kenabian. Ketika dinikahi Rasulullah, Siti Aisyah masih sangat belia. Di antara istri-istri yang beliau nikahi, hanyalah Aisyah yang masih dalam keadaan perawan. Aisyah menikah pada usia 6 tahun. Tujuan inti dari pernikahan dini ini adalah untuk memperkuat hubungan dan mempererat ikatan kekhalifahan dan kenabian.
Pada waktu itu, cuaca panas yang biasa dialami bangsa Arab di negerinya menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan fisik anak perempuan menjadi pesat di satu sisi. Di sisi lain, pada sosok pribadi yang menonjol, berbakat khusus, dan berpotensi luar biasa dalam mengembangkan kemampuan otak dan pikiran, pada tubuh mereka terdapat persiapan sempurna untuk tumbuh dan berkembang secara dini.
Pada waktu itu, karena Siti Aisyah masih gadis kecil, maka yang dilangsungkan baru akad nikah, sedangkan perkawinan akan dilangsungkan dua tahun kemudian. Selama itu pula beliau belum berkumpul dengan Aisyah. Bahkan beliau membiarkan Aisyah bermain-main dengan teman-temannya. Kemudian, ketika Aisyah berusaha 9 tahun, Rasulullah menyempurnakan pernikahannya dengan Aisyah. Dalam pernikahan itu, Rasulullah memberikan maskawin 500 dirham. Setelah pernikahan itu, Aisyah mulai memasuki rumah tangga Rasulullah.
Pernikahan seorang tokoh perempuan dunia tersebut dilangsungkan secara sederhana dan jauh dari hura-hura. Hal ini mengandung teladan yang baik dan contoh yang bagus bagi seluruh muslimah. Di dalamnya terkandung hikmah dan nasehat bagi mereka yang menganggap penikahan sebagai problem dewasa ini, yang hanya menjadi simbol kemubaziran dan hura-hura untuk menuruti hawa nafsu dan kehendak yang berlebihan.
Dalam hidupnya yang penuh jihad, Siti Aisyah wafat dikarenakan sakit pada usia 66 tahun, bertepatan dengan bulan Ramadhan, tahun ke-58 Hijriah. Ia dimakamkan di Baqi’. Aisyah dimakamkan pada malam itu juga (malam Selasa tanggal 17 Ramadhan) setelah shalat witir. Ketika itu, Abu Hurairah datang lalu menshalati jenazah Aisyah, lalu orang-orang pun berkumpul, para penduduk yang tinggal di kawasan-kawasan atas pun turun dan datang melayat. Tidak ada seorang pun yang ketika itu meninggal dunia dilayat oleh sebegitu banyak orang melebihi pelayat kematian Aisyah.
Sumber Asli:
- Arief, Nurhaeni. Engkau Bidadari Para Penghuni Surga, Kisah Teladan Wanita Saleha. Kafila: Yogyakarta: 2008
- Taman, Muslich. Pesona Dua Ummul Mukminin, Teladan Terbaik Menjadi Wanita Sukses dan Mulia. Pustaka Al-Kautsar: Jakarta. 2008
- Razwy, Syeda. A. Khadijah, The Greatest of First Lady of Islam. Alawiyah Abdurrahman (terj.). Mizan Publika: Jakarta. 2007
- an-Nadawi, Sulaiman. ‘Aisyah, The Greatest Woman in Islam. Firdaus (terj.). Qisthi: Jakarta. 2007
- asy-Syathi’, Aisyah Abdurrahman. Nisa’ an-Nabiy Alaihi ash-Shalatu wa as-Salam. Zaki Alkaf (terj.). Pustaka Hidayah: Bandung. 2001
Sementara itu, garis keturunan Siti Aisyah dari pihak ayahnya adalah Aisyah binti Abi Bakar ash-Shiddiq bin Abi Quhafah Utsman bin Amir bin Umar bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Fahr bin Malik. Sedangkan dari pihak ibu adalah Aisyah binti Ummu Ruman binti Amir bin Uwaimir bin Abd Syams bin Itab bin Adzinah bin Sabi’ bin Wahban bin Harits bin Ghanam bin Malik bin Kinanah.
Siti Aisyah lahir pada bulan Syawal tahun ke-9 sebelum hijrah, bertepatan dengan bulan Juli tahun 614 Masehi, yaitu akhir tahun ke-5 kenabian. Kala itu, tidak ada satu keluarga muslim pun yang menyamai keluarga Abu Bakar ash-Shiddiq dalam hal jihad dan pengorbanannya demi penyebaran agama Islam. Rumah Abu Bakar saat itu menjadi tempat yang penuh berkah, tempat makna tertinggi kemuliaan, kebahagiaan, kehormatan, dan kesucian, dimana cahaya mentari Islam pertama terpancar dengan terang.
Dari perkembangan fisik, Siti Aisyah termasuk perempuan yang sangat cepat tumbuh dan berkembang. Ketika menginjak usia sembilan atau sepuluh tahun, ia menjadi gemuk dan penampilannya kelihatan bagus, padahal saat masih kecil, ia sangat kurus. Dan ketika dewasa, tubuhnya semakin besar dan penuh berisi. Aisyah adalah wanita berkulit putih dan berparas elok dan cantik. Oleh karena itu, ia dikenal dengan julukan Humaira’ (yang pipinya kemerah-merahan). Ia juga perempuan yang manis, tubuhnya langsing, matanya besar, rambutnya keriting, dan wajahnya cerah.
Tanda-tanda ketinggian derajat dan kebahagiaan telah tampak sejak Siti Aisyah masih kecil pada perilaku dan grak-geriknya. Namun, seorang anak kecil tetaplah anak kecil, dia tetap suka bermain-main. Walau masih kecil, Aisyah tidak lupa tetap menjaga etika dan adab sopan santun ajaran Rasulullah di setiap kesempatan.
Pernikahan Rasulullah dengan Siti Aisyah merupakan perintah langsung dari Allah, setelah wafatnya Siti Khadijah. Setelah dua tahun wafatnya Khadijah, turunlah wahyu kepada kepada Rasulullah untuk menikahi Aisyah, kemudian Rasulullah segera mendatangi Abu Bakar dan istrinya, mendengar kabar itu, mereka sangat senang, terlebih lagi ketika Rasulullah setuju menikahi putri mereka. Maka dengan segera disuruhlah Aisyah menemui beliau.
Pernikahan Rasulullah dengan Siti Aisyah terjadi di Mekkah sebelum hjirah pada bulan Syawal tahun ke-10 kenabian. Ketika dinikahi Rasulullah, Siti Aisyah masih sangat belia. Di antara istri-istri yang beliau nikahi, hanyalah Aisyah yang masih dalam keadaan perawan. Aisyah menikah pada usia 6 tahun. Tujuan inti dari pernikahan dini ini adalah untuk memperkuat hubungan dan mempererat ikatan kekhalifahan dan kenabian.
Pada waktu itu, cuaca panas yang biasa dialami bangsa Arab di negerinya menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan fisik anak perempuan menjadi pesat di satu sisi. Di sisi lain, pada sosok pribadi yang menonjol, berbakat khusus, dan berpotensi luar biasa dalam mengembangkan kemampuan otak dan pikiran, pada tubuh mereka terdapat persiapan sempurna untuk tumbuh dan berkembang secara dini.
Pada waktu itu, karena Siti Aisyah masih gadis kecil, maka yang dilangsungkan baru akad nikah, sedangkan perkawinan akan dilangsungkan dua tahun kemudian. Selama itu pula beliau belum berkumpul dengan Aisyah. Bahkan beliau membiarkan Aisyah bermain-main dengan teman-temannya. Kemudian, ketika Aisyah berusaha 9 tahun, Rasulullah menyempurnakan pernikahannya dengan Aisyah. Dalam pernikahan itu, Rasulullah memberikan maskawin 500 dirham. Setelah pernikahan itu, Aisyah mulai memasuki rumah tangga Rasulullah.
Pernikahan seorang tokoh perempuan dunia tersebut dilangsungkan secara sederhana dan jauh dari hura-hura. Hal ini mengandung teladan yang baik dan contoh yang bagus bagi seluruh muslimah. Di dalamnya terkandung hikmah dan nasehat bagi mereka yang menganggap penikahan sebagai problem dewasa ini, yang hanya menjadi simbol kemubaziran dan hura-hura untuk menuruti hawa nafsu dan kehendak yang berlebihan.
Dalam hidupnya yang penuh jihad, Siti Aisyah wafat dikarenakan sakit pada usia 66 tahun, bertepatan dengan bulan Ramadhan, tahun ke-58 Hijriah. Ia dimakamkan di Baqi’. Aisyah dimakamkan pada malam itu juga (malam Selasa tanggal 17 Ramadhan) setelah shalat witir. Ketika itu, Abu Hurairah datang lalu menshalati jenazah Aisyah, lalu orang-orang pun berkumpul, para penduduk yang tinggal di kawasan-kawasan atas pun turun dan datang melayat. Tidak ada seorang pun yang ketika itu meninggal dunia dilayat oleh sebegitu banyak orang melebihi pelayat kematian Aisyah.
Sumber Asli:
- Arief, Nurhaeni. Engkau Bidadari Para Penghuni Surga, Kisah Teladan Wanita Saleha. Kafila: Yogyakarta: 2008
- Taman, Muslich. Pesona Dua Ummul Mukminin, Teladan Terbaik Menjadi Wanita Sukses dan Mulia. Pustaka Al-Kautsar: Jakarta. 2008
- Razwy, Syeda. A. Khadijah, The Greatest of First Lady of Islam. Alawiyah Abdurrahman (terj.). Mizan Publika: Jakarta. 2007
- an-Nadawi, Sulaiman. ‘Aisyah, The Greatest Woman in Islam. Firdaus (terj.). Qisthi: Jakarta. 2007
- asy-Syathi’, Aisyah Abdurrahman. Nisa’ an-Nabiy Alaihi ash-Shalatu wa as-Salam. Zaki Alkaf (terj.). Pustaka Hidayah: Bandung. 2001
Muhammad SAW, Memang Luar Biasa
Dari sahabat Buraidah, bahwa ada seorang Badui yang minta kepada Nabi agar beliau menunjukkan sebuah bukti mukjizat kenabiannya, lalu Nabi berkata pada Badui tersebut “Katakan pada pohon itu, bahwa Rasulullah memanggilmu!” lalu Badui itu melalkukan apa yang diperintahkan beliau, dan seketika itu pula pohon tersebut menggerakkanbatang-batangnya kekanan dan kekiri, kedepan dan kebelakang, lalu berjalan menapak bumi dengan batang-batangnya menghampiri kanjeng Nabi dan mengucapkan :
“Salam untukmu Yaa Rasulullah.”Lalu Badui itu minta agar pohon tersebut kembali ketempatnya semula, dan pohon itupun kembali ketempatnya seperti keadaan sebelumnya setelah diperintahkan oleh Rasulullah. “Izinkan aku untuk bersujud padamu.” Kata Badui itu tadi kepada Rasulullah, dan Nabi berkata:
“Kalau aku mau menyuruh manusia sujud kepada manusia, niscaya aku akan menyuruh seorang istri untuk sujud kepada suaminya.”
Badui berkata “Kalau begitu izinkan aku untuk mencium kedua tangan dan kakimu.” Dan Rasulpun mengizinkannya.”
Dan salah satu mukjizat Nabi Muhammad yang sudah tak asing lagi adalah rintihan batang pohon kurma yang tak ingin berpisah dengan beliau, bahkan kabar ini sudah mencapai derajat hadits Mutawatir, karena telah banyak diriwayatkan para imam hadits dari belasan sahabat kenamaan seperti Jabir Bin Abdillah, Anas Bin Malik, Abu Sa’id Al Khudry, Buraidah dan lain-lain.
Sahabat Jabir Bin Abdillah menuturkan “Atap masjid terbuat dari pelepah kurma, dan bila Nabi sedang berkhutbah beliau bersandar di salah satu sisinya. Namun ketika telah dibuatkan mimbar yang baru untuk beliau, tiba-tiba kami mendengar rintihan tersebut seperti suara gergaji. Hingga masjid mendengung karena suara rintihannya, hingga Nabi menghampirinya dan beliau meletakkan tangan beliau yang mulia lalu ia diam, lalu Nabi memberikan untuknya dua pilihan, beliau bersabda “Kalau kau ingin, aku akan kembalikan kamu ke tempat yang sebelumnya kamu tempati, hingga tumbuh kembali cabang-cabangmu, dan hingga sempurna pertumbuhanmu dengan terus berbuah, dan aku akan menanammu di surga, dan para wali Allah akan memakan dari buahmu?.”. Lalu Nabi mendengarkan pilihannya, dan menyimak apa yang dikatakan pohon tersebut, dan Rasul memberitahukan pilihannya dengan sabdanya (menerjemahkan pembicaraan pohon itu) “Kau tanam aku di surga, dan para wali Allah memakan dari buahanku, hingga aku berada di tempat yang kekal dan tak akan binasa (surga).” Lalu Nabi bersabda “Aku telah memenuhinya…
“Dia telah memilih tempat yang kekal (Akhirat), ketimbang tempat yang fana (dunia).”Al Imam Hasan Al Bashry bila sedang mengemukakan hadits ini, beliau selalu menangis sambil berkata kepada yang hadir di sekitarnya “Wahai para hamba Allah, sebatang kayu merintih lantaran ia merindukan Rasulullah di tempatnya, maka kalianlah sebenarnya yang lebih layak dan lebih pantas untuk rindu bertemu dengan beliau SAW.”