Qasidah Munajat Al Imam Al Quthb Habib Abdullah Al Haddad

Qasidah Munajat Al Imam Al Quthb Habib Abdullah Al Haddad

Ya Rasulallah . . .

Habib Ahmad bin Alwi Al-Habsyi
majalah islam, majalah alkisah, majalah islamiNiatkan di dalam hati bahwa semua ini dilakukan demi dakwah mengajak umat manusia pada kebenaran, demi syiar Islam di atas muka bumi, menjaga langkah kaki untuk selalu berjalan di atas jalan salaf, dan senantiasa berbaur dengan insan-insan dakwah dari mana pun mereka berasal.



Kampung Keramat Panjang. Nama sebuah daerah di wilayah Tangerang itu cukup familiar bagi sementara orang, tapi mungkin tidak bagi yang lainnya.

Nama kampung itu disebut demikian karena keberadaan makam keramat di sana yang bangunan makamnya cukup panjang, sampai beberapa meter, jauh lebih panjang dari makam-makam lain pada umumnya, yang hanya berkisar dua meter. Namun karena letaknya yang cukup jauh dari pusat kota, banyak orang yang belum berkesempatan menginjak daerah itu. Maklum saja, perkampungan tersebut terletak di pinggir laut sisi utara kota Jakarta. Dan di wilayah itulah dai muda figur kita kali ini dilahirkan.

Habib Ahmad bin Alwi bin Ali bin Hud bin Abdullah Al-Habsyi adalah putra kedelapan dari sebelas bersaudara. Ia besar dalam didikan orangtua yang tegas dalam mendidik anaknya.

“Gaya mendidiknya itu gaya wulaiti,” kata Habib Ahmad mengenang masa-masa indahnya saat sang ayah masih ada di tengah-tengah keluarga. Wulaiti adalah sebutan bagi seseorang yang lahir di tanah Arab. Memang, biasanya orang-orang sana itu sangat tegas dalam mendidik keluarganya.

“Ayah saya tergolong galak. Tegas sekali kalau mendidik anak-anaknya. Di rumah, setiap paginya kami harus bangun pagi-pagi sekali. Jam empat subuh harus sudah bangun. Kalau jam empat subuh tidak bangun, siap-siap saja kena siram air,” cerita Habib Ahmad. Meski ceritanya itu terkesan “seram”, Habib Ahmad menceritakannya dengan wajah sumringah. Rupanya ia merasakan bahwa hasil didikan ayahnya yang seperti itulah yang membentuk dirinya hingga bisa menjadi seperti sekarang.

“Walidi (ayah saya) galak. Ana nggak boleh banyak keluar. Ada layar tancap, ada ini, ada itu, tetap nggak boleh keluar. Tapi ana nggak pernah ngambek kalau dimarahin. Kalau walidi habis makan, bekasnya ana habisin. Kalau lagi duduk-duduk santai, ana deketin, terus ana pijit-pijit kakinya. Alhamdulillah, berkahnya sekarang ini amat terasa,” tuturnya.

Tekad Besar
Selain menempuh pendidikan di sekolah formal, Habib Ahmad juga dimasukkan oleh orangtuanya di sebuah madrasah yang jaraknya tak seberapa jauh dari rumahnya. “Orang menyebutnya ‘sekolah Arab’. Di sana saya diajari dasar-dasar pelajaran agama oleh Habib Yahya bin Salim Al-Kaf, di samping kalau di rumah didikan ayah saya terus saya dapatkan.”

Selepas SLTA, ia masuk sebuah pesantren, masih di wilayah Tangerang, yang diasuh oleh Habib Muhammad bin Abdurrahman Alatas. Dari pesantren itu, ia melanjutkan pendidikannya ke pesantren yang diasas Habib Ahmad bin Hasan Vad’aq, Bekasi, yaitu Pesantren Al-Khairat. Di pesantren yang diasuh Habib Hamid An-Nagib B.S.A. itu ia menimba ilmu dari beberapa ustadz. Selain kepada pembina dan pengasuhnya sendiri tentunya, ia juga banyak belajar kepada Habib Noval Al-Kaf (yang kini telah mendirikan pesantren sendiri di Sukabumi, Pesantren Darul Habib), Ustadz Muhammad Vad’aq (putra Habib Ahmad Vad’aq, pengasas Al-Khairat), Ustadz Zaki Mulachela, dan asatidz lainnya.

Di pesantren ini ia benar-benar menyiapkan dirinya dengan berbagai bekal untuk mencapai cita-citanya: belajar di Hadhramaut. Namun ia sendiri tidak tahu, mungkinkah ia dapat pergi ke Negeri Sejuta Wali itu.

“Uang nggak punya, persiapan nggak ada, ilmu masih ala kadarnya. Ya sudah, saat itu pokoknya saya berusaha menjadi seseorang yang seakan-akan sudah punya program jadi berangkat ke Hadhramaut. Saya hafalin dua juz Al-Qur’an, saya hafalin beberapa kitab yang menjadi syarat bagi pelajar yang mau berangkat ke sana. Bahkan saya sampai bikin paspor. Walidi masih belum tahu semua persiapan yang saya lakukan itu. Dan saya juga nggak tahu bisa berangkat apa nggak nantinya,” kisah Habib Ahmad.

Sampai akhirnya, suatu ketika, Allah pun memberi keluasan rizqi kepada orangtuanya. Hingga, dengan persediaan dana yang ada, Habib Ahmad pun merasa sudah siap seratus persen untuk berangkat ke Hadhramaut, melanjutkan pelajarannya di negeri leluhurnya itu. Sebab semua persiapan lainnya telah jauh-jauh hari ia persiapkan.

Harapan besarnya akhirnya kesampaian. Ia berangkat ke Hadhramaut. Sejak kecil, cita-citanya memang jadi orang yang berilmu agama. Ia ingat, sewaktu sekitar kelas 1 SD, kalau ada yang tanya nanti kalau sudah besar mau jadi apa, dengan tangkas Ahmad Al-Habsyi kecil menjawab, “Mau jadi kiai.”

Merasakan Kenikmatan
“Selama di Hadhramaut, saya paling senang kalau sudah masuk bulan Ramadhan. Di malam-malam Ramadhan, suasana masjid-masjid di sana luar biasa. Saat itu, kita merasakan nikmat yang luar biasa, tenggelam dalam ibadah terus-menerus,” kisah Habib Ahmad seputar masa-masa belajarnya di Hadhramaut.

Selain kenikmatan beribadah yang kondusif di negeri itu, Habib Ahmad juga merasakan nikmat dalam belajar. Di samping belajar, ia juga dididik untuk mengajar. Bahkan di samping tugas mengajar, ia juga mengajar secara privat kepada sejumlah santri.

Setelah dianggap cukup bisa terjun ke medan dakwah, setiap Kamis pagi ia dan kawan-kawan di Darul Musthafa keluar sampai malam Jum’at untuk berdakwah ke daerah-daerah Badwi, perkampungan pelosok di Hadhramaut.

“Kami disuruh membawa bekal sendiri, membawa roti. Kami dikirim ke daerah-daerah Badwi. Nggak boleh mengharap apa pun saat berdakwah di sana. Karenanya, kami pun membawa perbekalan sendiri,” kenangnya.

Saat masuk ke suatu daerah, “Kalau ada orangtua yang alim, kami datangin. Ada makam shalihin, kami ziarahin. Ada yang sakit, kami tengokin. Wallah, indah sekali,” kata Habib Ahmad. Bahkan ia sempat tugas khuruj dakwah sampai 40 hari.

Selama di Hadhramaut, ia tidak hanya belajar di lingkungan Darul Musthafa. Tapi, sebagaimana para santri lainnya yang memanfaatkan waktu mereka selama berada di Hadhramaut, ia juga mendatangi tokoh-tokoh ulama di sana, seperti Habib Hasan Asy-Syathiri, Habib Salim Asy-Syathiri, Habib Abdullah bin Muhammad Syihab, Habib Abubakar ‘Adni Al-Masyhur, Habib Muhammad bin Alwi Alaydrus (atau yang dikenal dengan sebutan “Habib Sa’ad”), dan para tuan guru Hadhramaut lainnya.

Di antara kenangan manis lain yang ia rasakan dalam masa-masa belajarnya adalah keinginannya sejak dulu untuk bertemu Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf Jeddah. Sekali waktu, ia berkesempatan menziarahi kota Makkah dan Madinah. Kesempatan itu pun sekaligus ia gunakan untuk datang ke kota Jeddah demi menjumpai tokoh besar yang selama itu hanya dilihat dari foto-foto yang beredar.

Saat ia mendatangi rumah Habib Abdul Qadir, alhamdulillah, pagar pintu sedang terbuka. Ia pun masuk ke halaman, alhamdulillah, pintu rumah pun terbuka. Ia terus masuk ke ruangan dalam, alhamdulillah, pintu ruangan dalam pun terbuka. Lalu ia menyusuri anak tangga menuju lantas atas untuk dapat menuju kamar Habib Abdul Qadir. Lagi-lagi, alhamdulillah, pintu kamar pun sedang terbuka.

Itu menjadi kenangan yang tak terlupakan baginya. Meski Habib Abdul Qadir kala itu sudah udzur dan hanya berada di atas tempat tidurnya, bagi Habib Ahmad, berkesempatan secara langsung untuk memandangi wajah sorang besar yang termasyhur akan keilmuan dan keshalihannya itu tentu merupakan karunia yang amat besar baginya.

Sewaktu kurikulum pelajaran di Darul Musthafa selesai, bersama empat kawan lainnya ia mendalami program kurikulum takhasus (pendalaman).

Singkat cerita, setelah selama beberapa tahun ia menimba ilmu di Hadhramaut, tahun 2004 Habib Ahmad pun pulang ke kampung halaman.

Sebelum kepulangannya, Habib Umar mengilbas dirinya, yaitu memakaikan imamah di kepalanya, seraya menyuruhnya agar meniatkan di dalam hati bahwa semua ini dilakukan demi dakwah mengajak umat manusia pada kebenaran, demi syiar Islam di atas muka bumi, menjaga langkah kaki untuk selalu berjalan di atas jalan salaf, dan senantiasa berbaur dengan insan-insan dakwah dari mana pun mereka berasal.
Habib Hamid bin Ja'far Al-Gadri
“Jadi, ada keseimbangan dakwah antara wa’tashimu dan kalimatun sawa. Inilah salah satu buah  manhajnya Madrasah Hadhramaut, yang dulu pernah ditebar dengan penuh hikmah lewat dakwah para wali di tanah Jawa, hingga berhasil mengislamkan hampir seluruh penduduk Nusantara.”

Habib Hamid bin Ja’far lahir di Bangkalan, Madura, pada 6 Desember 1981 M/11 Shafar 1402 H. Kakeknya, yaitu Habib Umar, memang lahir di Pontianak, namun kemudian hijrah ke Madura dan wafat di sana. Sang kakek adalah putra Pangeran Arya, yang menjadi semacam qadhi di Kesultanan Pontianak. Nama asli Pangeran Arya adalah Syarif Alwi bin Muhammad Al-Gadri (Tuan Mad Besar) bin Sulthan Utsman Al-Gadri, sultan Pontianak yang ketiga.
Habib Hamid menjalani pendidikan awalnya di Madrasah Al-Hamidiyah. Tahun 1992, saat ia memasuki kelas 3 ibtidaiyah, orangtuanya memasukkannya ke Pesantren Sidogiri.
Lulus tsanawiyah, tahun 1999, ia mendapat tugas mengajar di Pesantren Al-Ihsan, Leces, Probolinggo. Setelah itu ia mengajar di pesantren asuhan Habib Haidarah Al-Hinduan, sambil meneruskan pelajarannya kepada sang pengasuh pesantren, hingga 2004.
Sewaktu di Sidogiri, ia sudah aktif menulis dan berceramah, yaitu lewat Jam’iyyah Al-Muballighin, semacam lembaga untuk pelatihan para muballigh di Pesantren Sidogiri. Itu dijalaninya sejak kelas 6 ibtidaiyah. Sedang di tengah-tengah masyarakat, yakni sewaktu liburan pondok, ia mulai terjun ceramah sejak usia 16 tahun. Di Madura, saat usia 16 tahun itu, ia sempat membentuk Forma, Forum Remaja Madura, yang masih eksis hingga sekarang.
Tahun 2004, atas jasa Habib Haidarah Al-Hinduan, gurunya saat di Situbondo, ia pun berangkat ke Hadhramaut.

Sarat Aktivitas
Sesampainya di Hadhramaut, Habib Hamid ditempatkan di furu’ (cabang) Darul Musthafa, kota Syihr.
Belum sampai dua bulan, ia mengajukan diri untuk diuji pada semua displin mata pelajaran tingkat furu’, seperti nahwu, fiqih, tauhid. Alhamdulillah, ia lulus dan tak lama kemudian langsung dipindahkan ke Darul Musthafa, Tarim.
Di Tarim, di tahun kedua ia sudah membaca kitab Minhaj ath-Thalibin, di bawah bimbingan beberapa guru. Selain guru utamanya, Habib Umar Bin Hafidz, dan kakaknya, Habib Ali Masyhur Bin Hafidz, juga sejumlah guru Darul Musthafa lainnya.
Ketika bacaannya pada kitab Minhaj hampir khatam, yang ia tempuh selama sekitar dua tahun lebih, ia menikah dengan salah seorang santriwati Daruz Zahra, asuhan Hababah Nur binti Muhammad Al-Haddar, istri Habib Umar Bin Hafidz.
Setelah menikah, ia pulang ke Indonesia.
Selama di Hadhramaut, Habib Hamid aktif sebagai aktivis organisasi. Ia menjadi salah seorang ketua HIPMI (Himpunan Pelajar-Mahasiswa Indonesia) Yaman, yang sekarang berubah nama menjadi PPI (Persatuan Pelajar Indonesia) Yaman. Ia juga kemudian menjadi ketua pelajar Indonesia Darul Musthafa, tahun 2006-2007.
Selain tekun dalam mengikuti pelajaran dan aktif berorganisasi, ia pun meneruskan kesukaannya dalam menulis. Ia menulis, di antaranya, di An-Nadwah, terbitan HIPMI, dan di Anwar al-Ma’rifah, yang diterbitkan para pelajar Darul Musthafa, saat ia menjadi ketua pelajar Indonesia di Darul Musthafa Yaman.
Bukan hanya mengikuti pelajaran di Darul Musthafa, ia juga aktif mengikuti pelajaran-pelajaran para ulama lainnya di Hadhramaut, seperti Habib Hasan Asy-Syathiri, Habib Salim Asy-Syathiri, Habib Abdullah Bin Syihab, dan Habib Abubakar ‘Adni Al-Masyhur, yang tinggal di kota ‘Aden.
Dari Habib Abubakar, ia mendapat ijazah. Ceritanya, suatu saat ia mempunyai sejumlah pertanyaan, khususnya terkait Madrasah Hadhramaut. Dalam surat itu ia meminta ijazah kepada Habib Abubakar. Suratnya pun dibalas oleh Habib Abubakar. Dalam surat itu, Habib Abubakar sekaligus memberikan ijazah kepadanya.
Kalau Habib Abubakar datang ke Tarim, ia meminta izin kepada Habib Umar untuk mengikuti setiap kegiatan atau majelis yang diadakan Habib Abubakar secara penuh. Selama ia di Hadhramaut, Habib Abubakar Al-Masyhur beberapa kali datang ke Tarim, dan selama di Tarim rata-rata sekitar lima belas hari. Maka, selama sekitar dua pekan itu ia selalu hadir di majelis-majelis Habib Abubakar, rauhah, seminar, ceramah, dan sebagainya.
Kegemarannya dalam membaca membuatnya juga aktif mengikuti pemikiran sejumlah ulama Timur Tengah non-Hadhramaut lainnya. Selain sangat mengidolakan guru-gurunya saat di Hadhramaut, ia juga menggandrungi pemikiran-pemikiran Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi, Syria, Syaikh Abdullah bin Mahfudz Bin Bayyah, Mauritania, dan Syaikh Ali Jum’ah, Mesir.
Di matanya, para pemikir Ahlussunnah wal Jama’ah yang mempunyai sanad mata rantai keilmuan itu memiliki keselarasan pemikiran dengan ajaran kaum salafush shalih. Selain mengoleksi kitab-kitab karya mereka, terutama karya Al-Buthi, yang hampir lengkap ia miliki, ia juga aktif mengikuti pemikiran-pemikiran mereka hingga sekarang lewat media internet.
Sepulangnya di Indonesia, setahun pertama ia banyak bolak-balik Jakarta-Madura.
Setelah setahun, akhirnya ia memutuskan tinggal di Jakarta. Istrinya memang berasal dari keluarga Al-Haddad, Kalibata, Jakarta Selatan.
Di Jakarta, ayah Muhammad dan Umar ini kemudian mendirikan semacam institusi penelitian, yang ia namakan “Al-Ghanna Foundation”, yang bergerak di bidang keilmuan, ta’ziyah, dan dakwah.
Aktivitasnya dalam mengajar saat ini antara lain membuka majelis mingguan setiap malam Senin di rumahnya. Di antara kajiannya adalah tentang sirah shahabat, sejarah kehidupan para sahabat Nabi SAW. Di antara kitab yang ia gunakan adalah Tarikh al-Khulafa Ar-Rasyidin, karya As-Suyuthi. Setiap Rabu pagi ia membuka pelajaran bahasa Arab, fiqih, akhlaq, dan tafsir, juga di rumahnya. Dua minggu sekali ia mengajar di Masjid Al-Fudhala’, Tanjung Priok, bergantian setiap pekannya dengan K.H. Saifuddin Amsir.
Lewat Al-Ghanna pula ia membuat jaringan satri dan alumni pesantren salaf, misalnya, lewat penulisan buku-buku atau terjemah kitab-kitab, yang kemudian diterbitkan Nurani Publishing, yang juga ia dirikan untuk kebutuhan menerbitkan buku-buku keislaman.
Saat ini, ia juga aktif sebagai pembina keruhanian di Rijalul Anshar, sebuah lembaga otonom di bawah payung organisasi GP Ansor, organisasi pemuda NU. Selain itu ia pun menjadi pembina ubudiyah pada perguruan pencak silat Tiga Serangkai, yang anggotanya kini mencapai puluhan ribu orang, yang tersebar di seluruh Nusantara.

Madrasah Hadhramaut
Saat berangkat ke Hadhramaut, diakuinya, itu bukan hanya karena adanya hubungan emosional, lantaran ia berdarah Hadhramaut. Setidaknya, ada dua alasan hingga ia menempatkan Hadhramaut sebagai pilihan terbaik.
Pertama, adanya sanad yang dimiliki para ulama Hadhramaut. Sanad ulama Hadhramaut bukan hanya bersifat formal, tapi juga sanad bi ma’nal kalimah, sanad yang sesungguhnya, lewat pengajaran turun-temurun dari anak-ayah-kakek dan seterusnya, baik dalam pemikiran, suluk, tarbiyah, maupun dakwah.
Habib Hamid kemudian melanjutkan, “Kalau dalam hadits, itu dari segi riwayah. Dari segi dirayah, dan ini alasan kedua, dalam keilmuan, suluk, dan dakwah, Hadhramaut telah menjawab semua yang saya butuhkan : pemikiran, ruhiyah, dakwah, dan sebagainya. Manhaj mereka dapat mengikuti perkembangan zaman, yang dapat diterima secara sadar oleh akal yang sehat, yang hadir sebagai manhaj yang lurus, yang menjadi bukti bahwa ini adalah manhaj Nabawi.”
Benar yang dikatakannya. Tokoh-tokoh utama Hadhramaut yang kini ada di sana memang dapat disaksikan dengan mata kepala dan mata hati sebagai orang-orang yang kala kita memandangnya saja dapat mengingatkan kita kepada Allah SWT. Mereka benar-benar tampil di hadapan kita sebagai sosok-sosok yang memang berhak untuk kita cintai.
Syuyukh, tuan-tuan guru tanah Hadhramaut itu, melestarikan manhaj Nabawi dan manhaj para salafush shalih dalam sebuah tatanan yang dalam istilah yang sering dikatakan Habib Abubakar Adni Al-Masyhur, “Inilah Madrasah Hadhramaut.” Demikian Habib Hamid menjelaskan.

Bukan Menjahati Orang-orang Kafir
Sosok-sosok seperti Habib Umar Bin Hafidz, misalnya, menurut Habib Hamid, benar-benar hadir di tengah-tengah masyarakat dunia sebagai figur yang meneladani sosok rahmatan lil ‘alamin, Rasulullah SAW, yang tak lain datuk mereka sendiri.
Karenanya, Habib Umar Bin Hafidz, dalam salah satu ceramahnya di New York, menyatakan, makna asyidda’u ‘alal kuffar bukan berarti ketegasan kita dalam menghujat atau menjahati orang-orang kafir, tetapi kita tegas di depan mereka bahwa kita ini punya prinsip.
Kita tunjukkan kepada mereka, inilah akhlaq kita, inilah pemikiran kita, inilah jalan kita. Jangan sampai saat kita berbaur dan bermuamalah dengan mereka kemudian akhlaq kita meniru mereka. Di sini, tampak bahwa pemahaman beliau jauh dari pemahaman untuk bersikap frontal.
Itu pula sebabnya, Habib Umar menggagas sebuah pemikiran, yang kemudian diluncurkan secara institusional lewat muridnya, Habib Ali Al-Jufri, tentang kalimatun sawa, kesamaan kata atau platform, yaitu antara umat Islam dan Kristen.
Saat ide kalimatun sawa tersebut diluncurkan, tak kurang dari 300 tokoh Kristen dunia mendukungnya secara penuh.
Bagaimanapun, agama Nasrani, awalnya, diturunkan kepada Nabi Isa AS. Tentu, pasti saja masih terdapat hal-hal yang sama di antara kedua ajaran agama besar dunia itu. Dan pada hal-hal tersebut kedua umat beragama ini dapat bergandengan tangan.
Kalau Habib Umar dapat bergandengan tangan dengan kalangan non-muslim, bagaimana mungkin beliau tidak dapat bergandengan tangan dengan sesama muslim?
Karenanya, pada saat yang bersamaan, Habib Umar Bin Hafidz juga mengusung ide wa’tashimu di setiap tempat yang ia singgahi. Wa’tashimu adalah kata-kata yang dikutip dari sebuah ayat Al-Qur’an yang maknanya “bersatulah kalian”.
Lewat dakwahnya, Habib Umar tak henti berupaya mempererat ukhuwah sesama umat Islam, terutama di kalangan ulamanya, sebagai poros dakwah umat. Di Indonesia, kita mengenal Majelis Muwashalah bayna al-‘Ulama’ wal Muslimin (majelis penghubung antar sesama ulama dan umat Islam), yang juga didirikan Habib Umar. Institusi tersebut kini mendapat sambutan hangat hampir seluruh ulama Nusantara.
Sehingga, terhadap perbedaan pendapat sesama umat Islam, Habib Umar selalu berusaha menyikapinya dengan bijak. Sarat nuansa rahmatan lil ‘alamin. Terhadap paham-paham umat yang ekstrem, beliau selalu mengedepankan akhlaqul karimah.
Jadi, ada keseimbangan dakwah antara wa’tashimu dan kalimatun sawa. Inilah salah satu buah manhaj Madrasah Hadhramaut, yang dulu pernah ditebar dengan penuh hikmah lewat dakwah para wali di tanah Jawa, hingga berhasil mengislamkan hampir seluruh penduduk Nusantara. Mereka, para wali-wali itu, yang juga kaum sadah ‘Alawiyyin, tentunya terlahir pula dari didikan Madrasah Hadhramaut. Dari sini, kita melihat bahwa Madrasah Hadhramaut, sebagai salah satu manhaj dakwah, menjadi penting untuk ditekankan setiap insan dakwah di Nusantara di setiap medan dakwah yang mereka geluti.
Kita, yang Ahlussunnah wal Jama’ah, harus tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip Ahlussunnah wal Jama’ah. Kalau pemikiran kita berbenturan di sana-sini dengan kalangan Wahabi atau Syi’ah, misalnya, sikapi dengan akhlaq yang dicontohkan para salaf Ahlussunnah wal Jama’ah.
“Orang bilang, Wahabi suka mengkafirkan. Orang juga bilang, Syi’ah suka mencaci maki. Nah, menolak paham Wahabi atau Syi’ah, harus dengan cara yang tidak sama dengan cara orang Wahabi dan Syi’ah itu. Akhlaq yang dicontohkan Rasulullah SAW, yang kemudian diteladani para ulama salaf Ahlussunnah wal Jama’ah, harus dikedepankan. Dan ini pula salah satu buah manhaj Madrasah Hadhramaut,” ujarnya memungkasi wawancara dengan alKisah.
Habib Alwi bin Anis Al Habsyi Solo
Selain itu, Habib Alwi juga meneruskan tradisi Habib Anis mengikuti rangkaian acara Maulid di Jakarta dan haul di Martapura, Banjarmasin, memenuhi undangan-undangan yang ditujukan kepada Masjid Riyadh, di Indonesia maupun luar negeri, seperti Hadhramaut, Malaysia, dan lainnya.



Zawiyah, Masjid Riyadh, Kamis 9 Maret 2012. Penampilan pengganti Habib Anis bin Alwi Al-Habsyi itu terlihat mantap. Begitu pula, ketika memimpin pembacaan Simthud Durar setiap malam Jum’at, Habib Alwi sudah menuju track tradisi di Masjid Riyadh selama ini.

Hadirin yang datang pun semakin banyak. Tidak saja dari Solo atau daerah-daerah lain di Jawa Tengah, tetapi juga dari Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, bahkan ada juga yang datang dari Malaysia, Singapura, dan Timur Tengah. Khususnya pada acara besar, seperti Legian (Maulid yang jatuh Jum’at Legi), Haul Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi (shahib Simthud Durar), khatam Bukhari, khataman Al-Qur’an, dan ‘uwad (halal bihalal).

Amanah sebagai shahibul maqam di Masjid Riyadh memang begitu mendadak diterimanya. Namun setelah berjalannya waktu, tampaknya ia bisa melaksanakannya dengan baik. Sebab semua acara yang ada di Masjid Riyadh dan lingkungannya adalah tradisi yang sudah dikenal dan dijalankan sejak ia masih kecil, jadi tidak ada yang asing baginya.

“Yang penting menyiapkan mental untuk menerima tugas ini. Amanah ini harus diamalkan dengan landasan keikhlasan. Tanpa itu, kita akan merasa berat,” ujarnya.

Dalam pengakuannya, Habib Alwi mengatakan bahwa sejak muda tidak ada keinginan secuil pun untuk menjadi pengganti abahnya, Habib Anis. Sebab kala masih muda, masih ada kakak-kakaknya, yaitu almarhum Habib Ali, Habib Husin, dan Habib Ahmad. Namun entah kenapa saudara-saudaranya memilih dirinya menjadi pengganti abahnya. Bahkan sang pamam, Al-Maghfurlah Habib Ahmad bin Alwi Al-Habsyi, yang dimintai pendapat, pun punya pendapat yang sama.

Namun, secara tidak langsung, alamat atau pertanda itu sudah ada jauh hari sebelumnya. Dari enam anak Habib Anis, hanya dirilah yang meneruskan usaha batik Habib Anis yang memiliki label dagang “Anis” (Apik dan Manis). Jadi setelah Habib Anis mengundurkan diri dari dunia perdagangan, dirinyalah yang meneruskan usaha batik itu di rumah keluarga, terletak di sebelah barat Masjid Riyadh.

“Dulunya batik tulis, kemudian mencoba batik printing. Tapi karena perdagangan batik mulai menurun, saya hentikan pada tahun 2005,” katanya. Ditambahkan, “Namun saya masih punya keinginan untuk melanjutkan lagi, sebab saya asyik kerja di batik, dan sekarang katanya perdagangan batik sedang ramai lagi.”

Meski keinginan untuk bekerja tetap bersemangat, akhirnya keinginannya itu direm sendiri. Sebab ketika harus memimpin keluarga Al-Habsyi dalam keluarganya dan menjadi imam Masjid Riyadh, waktu untuk bekerja yang lain sudah habis.

“Saya sekarang masih memegang usaha sapi perah di Telukan Sukoharjo, juga membuka toko roti ‘Hani’, dan istri saya membuka warung makan di depan ruko Riyadh,” katanya.

Penamaan toko roti “Hani” juga tetap mengacu kepada kesinambungan hubungan dengan abahnya. Nama “Hani” memiliki kepanjangan “Habib Anis”. Inilah naluri seorang anak yang ingin tetap mengharumkan nama abahnya dalam kehidupannya.

Mengapa ia tetap bekerja, meski harus memimpin berbagai acara yang diselenggarakan di Masjid Riyadh, juga kadang panggilan dari para jama’ah di tempat masing-masing untuk memimpin pembacaan Simthud Durar? Habib Alwi Al-Habsyi mengatakan, sikap ini diambil karena meneladani abahnya.
“Abah mendidik kami supaya tidak menjadi orang yang malas. Meski mendapat tugas sebagai juru dakwah, bekerja juga harus dijalankan. Bukankah Nabi Muhammad juga bekerja?” ujarnya.

Belajar dari Sang Ayah
Habib Alwi adalah anak keempat pasangan Habib Anis dan Syarifah Syifa binti Toha Assegaf. Keenam anak Habib Anis adalah Habib Ali (almarhum, mertua Habib Novel Alaydrus), Habib Husin, Habib Ahmad, Habib Alwi, Habib Hasan, dan Habib Abdillah.

Habib Anis-lah yang dianggap Habib Alwi sebagai guru utamanya. “Saya belajar agama dari beliau, dari membaca Al-Qur’an hingga ilmu tasawuf dan ilmu kehidupan lainnya,” tuturnya.

Habib Alwi ingat, ia belajar membaca Al-Qur’an dimulai dengan mengeja huruf Hijaiyah ba’da maghrib di Masjid Riyadh. Tradisi membaca Al-Qur’an bersama setiap ba’da maghrib sampai sekarang masih dilestarikannya.

Kemudian, ia belajar di Madrasah Arrabitah Al-Alawiyah, yang berada di  samping rumahnya. Lalu ia meneruskan di SMP Islam Diponegoro dan SMA Negeri 3, semuanya di Solo.

Tahun 1977, ia mencari kerja di Saudi. Dua tahun di Jeddah sebagai pegawai apotek, dan di kota Damman sebagai pegawai tokoh parfum.

Di Saudi, ia memperlancar bahasa  Arab, sambil tabarukan kepada beberapa habib, seperti Habib Ahmad bin Abdul Qadir Assegaf di Jeddah dan Habib Abu Bakar Aththas Al-Habsyi di Makkah.

Beberapa waktu kemudian Habib Alwi pulang ke kampung halaman dan kemudian menikah dengan Syarifah Zahra binti Isa Mulachela, orang Solo juga. Pasangan ini sekarang dikarunia empat anak: Khadijah (menikah dengan Sayyid Sholeh Muza bin Musthafa Mulachela, dan tinggal di Australia), Fathimah, Muhammad (almarhum), dan Hanna.

Pasangan Alwi-Zahra memang dikenal sebagai pekerja keras. Selain meneruskan pengelolaan batik “Anis”, Habib Alwi juga membuka usaha lainnya. Semula sapi potong, kemudian beralih sapi perah. Di rumah ia juga membuka toko roti “Hani” pada tahun 2008. Sedang istrinya membuka usaha warung makan, dan sekaligus catering, untuk menjamu tamu-tamu yang datang ke Masjid Riyadh.

Ia kemudian mengisahkan kenangan bersama sang abah. Dalam kesibukannya bekerja, Habib Anis tetap mengajar anak-anaknya dalam berbagai hal ilmu agama. Kadang-kadang Habib Anis membaca kalam-kalam Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, kemudian kitab-kitab yang ditulis Habib Abdullah Al-Haddad, dan yang paling sering adalah kajian kitab Ihya Ulumuddin.

“Bagi Habib Anis, yang paling penting dalam mempelajari ilmu agama adalah supaya memiliki akhlaq yang mulia. Meski berilmu tingga kalau tidak memiliki akhlaq, ilmunya tidak ada artinya apa-apa. Jadi kami dididik terutama dalam bidang akhlaq,” tuturnya.

Pelajaran-pelajaran itulah yang kemudian dijadikan modal untuk mengemban amanah sebagai imam dan shahibul maqam di Masjid Riyadh hingga sekarang. Pelajaran-pelajaran Habib Anis yang disampaikan di zawiyah, di ruang tamu, dan dalam pertemuan keluarga, menjadi bekal berharga dalam melanjutkan tradisi yang sudah berjalan di Masjid Riyadh.

Selama setahun, Masjid Riyadh memiliki beberapa event yang harus diselenggarakan. Terutama adalah haul Habib Ali di bulan Rabi’ul Akhir, kemudian khatam Bukhari pada bulan Rajab, dan Tarawih serta khataman Al-Qur’an pada bulan Ramadhan, ‘uwad pada hari kedua ‘Idul Fithri, tahlil haul Habib Anis pada bulan Syawwal, penyembelihan qurban pada bulan Dzulhijjah, serta tahlil Habib Alwi di bulan Rabi’ul Awwal.

Sementara acara mingguan adalah membaca Simthud Durar setiap malam Jum’at. Khusus pada malam Jum’at Legi diadakan acara Legian,  diiringi qashidah, hadhrah, dan mau’izhah. Sedang untuk malam Jum’at biasa acara garingan (tidak diberi makan, hanya roti Hani dan kopi susu).

Selain itu, Habib Alwi juga meneruskan tradisi Habib Anis mengikuti rangkaian acara Maulid di Jakarta dan haul di Martapura, Banjarmasin, memenuhi undangan-undangan yang ditujukan kepada Masjid Riyadh, di Indonesia maupun luar negeri, seperti Hadhramaut, Malaysia, dan lainnya.

“Saya sekadar meneruskan tradisi Abah,” katanya.
Al Imam Al Habib Ali Ridho bin Musa Kadzim

Al Habib Ali Ridha bin Musa Al Kadhim

Beliau dikenali sebagai salah seorang pernuka dan ulama Ahlil Bait Nubuwah yang besar pengaruhnya di kalangan Syiah. Beliau hidup semasa Khalifah Harun Rasyid. Banyak orang yang menyaksikan karamah beliau. Beliau pernah berkata kepada seorang yang sihat: “Bersiaplah untuk menghadapi kematianmu”. Setelah tiga hari orang tersebut diberitakan meninggal dunia.

Al Hakim meriwayatkan dari Muhammad bin Isa bin Abi HuFaib: “Aku pernah bermimpi melihat Rasulullah s.a.w. di suatu gedung yang biasa kaum Haji singgah di tempat itu ketika tiba di kota kami. Di gedung itu kulihat ada sebuah piring yang berisi buah kurma. Kulihat Rasulullah memberiku delapan belas buah kurma. Setelah dua puluh hari setibanya dari Madinah Ali Ridha singgah di tempat itu. Penduduk kota kami datang menyambutnya. Akupun datang menemui beliau. Kulihat beliau sedang duduk di tempat yang diduduki oleh Rasulullah seperti yang kulihat dalam mimpiku. Sedangkan di hadapan beliau ada sebuah piring yang berisi buah kurma sama seperti yang kulihat di dalam mimpiku. Kemudian beliau memberiku segenggam buah kurma. Ketika kuhitung jumlahnya sama berjumlah lapan belas buah. Aku berkata: “Tambahkan sedikit lagi”. Jawab beliau: “Jika Rasulullah waktu itu menambahkan pasti aku tambahkan padamu”.

Dalam kitab Al Itihaf Bi-Hubbil Asyraf disebutkan: “Waktu Khalifah Ma’mun, hendak menjadikan Ali Ridha sebagai penggantinya kelak sebahagian bawahan Khalifah Ma’mun tidak senang. Mereka takut kalau kekuasaan itu akan berpindah dari keluarga Banil Abbas kepada keluarga Bani Fatimah. Orang-orang yang tidak setuju itu ingin menunjukkan pembangkangannya pada Ali Ridha. Biasanya jika Ali Ridha hendak masuk ke dalam istana orang-orang yang berada dalam istana akan berdiri untuk memberi salam pada beliau terlebih dahulu. Kemudian mereka membukakan tabir yang memisahkan tempat bersemayamnya khalifah dengan ruangan luar.

Pada suatu hari pegawai-pegawai istana yang tidak senang pada beliau bersepakat untuk tidak berdiri menghormat beliau dan tidak akan membukakan tabir agar beliau tidak dapat masuk ke dalam majlis khalifah. Di suatu pagi ketika pegawai-pegawai istana sedang duduk tiba-tiba datanglah Ali Ridha hendak masuk ke dalam majlis khalifah seperti biasanya. Anehnya waktu Ali Ridha masuk ke ruang itu tidak seorangpun dari mereka yang tidak bangkit untuk menghormatinya dan membukakan tabir. Setelah Ali Ridha masuk ke dalam majlis khalifah mereka saling menyalahkan apa yang telah dilakukan masing-masing. Kemudian mereka bersepakat sekali lagi untuk tidak membukakan tabir jika Ali Ridha datang ke dalam istana. Keesokan harinya waktu Ali Ridha datang seperti biasanya mereka hanya memberi salam saja pada beliau tanpa membukakan tabir. Dengan izin Allah berhembusanlah angin kencang dalam istana sehingga tabir itu tersingkap dan Ali Ridha pun masuk dalam istana dengan aman. Demikian pula waktu Ali Ridha akan pulang berhembuslah angin dari arah dalam menyingkapkan tabir sehingga Ali Ridha dapat melalui dengan santai.
Hamzah bin Abdul Muthalib "Singa Allah"

Hamzah Bin Abdul Muthalib: Singa Allah

hamzah bin abdul mutholib Hamzah Bin Abdul Muthalib: Singa Allah  
Pada suatu hari Hamzah bin Abdul Muthalib keluar dari rumahnya sambil membawa busur dan anak panah untuk berburu binatang di padang pasir, hal itu telah menjadi hobi dan kegemarannya sejak masa muda.

Siang itu hampir setengah harian ia habiskan waktunya di padang pasir yang luas dan tandus itu, akan tetapi ia tidak mendapatkan buruannya. Akhirnya ia beranjak pulang dan mampir di Ka’bah untuk melakukan thawaf sebelum kembali ke rumah.

Sesampainya di depan Ka’bah seorang budak perempuan milik Abdullah bin Jud’an At Taimi menghampirinya seraya berkata,”Hai Abu Umarah, andai saja tadi pagi kamu melihat apa yang dialami oleh keponakanmu, Muhammad bin Abdullah, niscaya kamu tidak akan membiarkannya. Ketahuilah, bahwa Abu Jahal bin Hisyam-lah, musuh bebuyutannya telah memaki dan menyakiti keponakanmu itu, hingga akhirnya ia mengalami luka-luka di sekujur tubuhnya.” kemudian diceritakannya peristiwa itu secara rinci.

Setelah mendengarkan panjang lebar peristiwa yang di alami oleh keponakannya tadi pagi, dia terdiam sambil menundukkan kepalanya sejenak. Lalu ia membawa busur dan anak panah dan menyandangnya, Kemudian dengan langkah cepat dan tegap, ia pergi menuju Ka’bah dan berharap akan bertemu dengan Abu Jahal di sana. Namun belum sampai di Ka’bah ia melihat Abu Jahal dan beberapa pembesar Quraisy sedang berbincang-bincang. Maka dalam ketenangan yang mencekam, Hamzah mendekati Abu Jahal. Lalu dengan gerakan yang cepat ia lepaskan busur panahnya dan dihantam-kan ke kepala Abu Jahal berkali-kali hingga jatuh tersungkur dan mengucur-lah darah segar deras dari dahinya.

“Mengapa kamu memaki dan mencederai Muhammad, padahal aku telah menganut agamanya dan meyakini apa yang dikatakannya? Nah sekarang, coba ulangi kembali makian dan cercaan mu itu kepadaku jika kamu berani!”, bentak Hamzah kepada Abu Jahal.

Akhirnya dalam beberapa saat orang-orang yang berada di sekitar Ka’bah lupa akan penghinaan yang baru saja menimpa pemimpin mereka. Mereka begitu terpesona oleh kata-kata yang keluar dari mulut Hamzah yang menyatakan bahwa ia telah menganut dan menjadi pengikut Muhammad.

Tiba-tiba beberapa orang dari Bani Makhzum bangkit untuk melawan Hamzah dan menolong Abu Jahal. Tetapi Abu Jahal melarang dan mencegahnya seraya berkata,”Biarkanlah Abu Umarah melampiaskan amarahnya kepadaku. Karena tadi pagi, aku telah memaki dan mencerca keponakannya dengan kata-kata yang tidak pantas.”
Keistimewaan Masjid Quba

Keistimewaan Spiritual Masjid Quba

mosque quba1 300x182 Keistimewaan Spiritual Masjid Quba
Selain keistimewaan-keistimewaan bangunan fisik, Masjid Quba juga memiliki keistimewaan spiritual khusus dari Allah SWT.

Pesona kota Madinah memang tidak pernah pudar. Di kota yang kerap menjadi percontohan banyak negara itu terdapat berbagai peninggalan sejarah penyebaran dan perkembangan Islam, tak terkecuali masjid.

Selain Masjid Nabawi, yang ramai dikunjungi, masih ada masjid-masjid bersejarah lainnya yang tidak kalah menarik. Salah satunya Masjid Quba.

Masjid yang dinamakan berdasarkan letaknya ini adalah masjid yang pertama kali dibangun oleh Baginda Rasulullah SAW, di atas sebidang tanah milik keluarga Kalsum bin Hadam dari Kabilah Amir bin Auf yang diwakafkannya kepada beliau setiba di Quba.

Ketika itu, Quba merupakan sebuah kawasan pinggiran Yatsrib dan terletak sekitar tiga kilometer di selatan.
Rasulullah sendiri yang mendesain masjid itu. Bahkan beliau ikut bekerja, tidak segan-segan mengangkat bahan material bangunan, sehingga tampak letih yang teramat sangat pada wajahnya yang mulia. Nabi Muhammad SAW menunjukkan suri teladan yang begitu mulia, yang tak hanya pandai menyuruh.

Rasulullah SAW juga orang pertama yang meletakkan batu di mihrab masjid tersebut menghadap ke Baitul Maqdis di Palestina, kiblat pertama umat Islam, kemudian disusul berturut-turut oleh Abu Bakar Assidiq, Umar bin Khaththab, dan Utsman bin Affan. Siapakah yang menduga, ternyata proses peletakan batu kiblat ini kemudian paralel dengan sejarah pengangkatan Khulafaur Rasyidin.

Setelah rampung, di masjid inilah untuk kali pertama shalat berjama’ah dilaksanakan.
Meskipun sangat sederhana, Masjid Quba kala itu dijadikan sebagai masjid percontohan masjid-masjid yang didirikan kemudian hari. Bangunan bersahaja itu memenuhi syarat-syarat standar pendirian masjid. Terdapat suatu ruang persegi empat untuk shalat dan sebuah serambi. Ruangan itu bertiang pohon kurma dan beratap datar dari pelepah daun kurma bercampurkan tanah liat, yang melindungi jama’ah dari buruknya cuaca.

Di tengah-tengah masjid terdapat ruang terbuka yang biasa disebut sahn. Dan di sahn itulah ada sebuah sumur tempat mengambil air wudhu. Kebersihan area masjid itu begitu terjaga dan cahaya matahari serta udara dapat masuk.

Ketika peralihan arah kiblat umat Islam menghadap ke Masjidil Haram, masjid itu tentu mengalami rekonstruksi. Arah kiblat, yang semula menghadap ke Baitul Maqdis di Palestina, diputar balik menghadap ke arah Baitullah di Makkah.

Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan, masjid itu, yang kerap dikunjungi oleh Baginda Rasulullah SAW tiap hari Sabtu bila beliau bertugas di luar Madinah, diperbaiki karena rusak berat.

Kini, masjid yang terletak sekitar lima kilometer di sebelah tenggara kota Madinah ini telah mengalami perbaikan dan perluasan berkali-kali.

Bangunan fisiknya mengalami banyak perkembangan. Salah satunya, keempat menara setinggi 47 meter yang mengelilingi masjid berwarna putih bersih. Khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah orang pertama yang membangun menara pada masjid ini.

Rekonstruksi kembali terjadi pada masa Sultan Al-Asyraf Saif Al-Din Qait-Bey dari Dinasti Mamluk. Masjid tersebut dilengkapi dengan sebuah mimbar baru dari pualam. Mimbar itu kemudian diganti dengan mimbar yang terkenal dengan sebutan “Mimbar Masjid Raya”.

Kemudian pada masa kepemimpinan Raja Fahd ibn Abdul Aziz tahun 1986, Masjid Quba kembali direnovasi dan diperluas, menelan biaya  90 juta riyal (Rp.90.000.000.000,-). Hingga saat ini, inilah renovasi terbesar masjid tersebut, tapi tetap mempertahankan bentuk arsitektur tradisionalnya.

Di sisi selatan masjid dibuat galeri terbuka dengan deretan tiang. Sedangkan di sisi sebelah utara terdapat dua serambi bertiang. Di sebelah timur dan barat terdapat tempat terbuka dengan dinding tembok berbeton. Pada bagian atasnya berjejer sebanyak enam kubah besar, masing-masing berdiameter 12 meter, serta 56 kubah kecil yang masing-masing berdiameter enam meter. Kubah-kubah tersebut ditopang oleh pilar-pilar beton yang sangat kokoh.

Sementara lantai halaman, yang terbuka, dilapisi marmer yang anti panas. Di bagian ini terdapat atap yang dapat bergerak, terbuka dan tertutup otomatis, serta terpal yang sangat kokoh, yang melindungi lantai atau jama’ah dari sengatan matahari.

Masjid ini memiliki 19 pintu, terdiri dari tiga pintu utama. Tiga pintu utama, yang berdaun pintu besar, diperuntukkan bagi para jama’ah yang ingin memasuki masjid mulia itu. Dua pintu diperuntukkan bagi jama’ah laki-laki, sedangkan satu pintu bagi jama’ah perempuan. Berbagai petunjuk dan informasi khusus ditempatkan pada dinding luar masjid dan di dinding pintu. Di seberang ruang utama masjid, terdapat ruangan yang dijadikan tempat belajar-mengajar.

Sakarang yang bertanggung jawab atas renovasi masjid ini adalah keluarga Saud.
Kompleks masjid ini memiliki luas 135.000 meter persegi. Sementara ruang shalat utama seluas 5.035 meter persegi, yang bisa menampung hingga 20.000 jama’ah. Masjid ini, sebelum diperluas, pada zaman Rasulullah, hanya memiliki luas 1.200 meter persegi.

Di kompleks masjid ini terdapat kantor, pertokoan, dan ruang tamu. Kompleks masjid juga dilengkapi dengan tempat tinggal imam dan muadzin.

Atas Dasar Taqwa

Selain keistimewaan-keistimewaan bangunan fisik tersebut, Masjid Quba juga memiliki keistimewaan spiritual khusus dari Allah SWT. Yakni, masjid ini disebut Masjid Taqwa, seperti termaktub dalam Al-Quran surah At-Tawbah ayat 108, yang artinya “Janganlah kamu shalat dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar taqwa (Masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah SWT menyukai orang-orang yang bersih.”

Menurut ulama tafsir, umat Islam tidak diperkenankan bersikap egois dalam meraih kemulian. Shalat berlama-lama, bahkan hingga tinggal di dalam masjid tersebut, sementara yang lainnya tidak bisa memasukinya, sangat dibenci Allah SWT.

Masjid itu dibangaun berdasarkan ketaqwaan kepada Allah, maka sejatinya umat Islam pun bisa beribadah di dalamnya dengan penuh taqwa kepada-Nya. Semoga..

Pentingnya Sanad & Ijazah

Sanad Dan Ijazah


sanad 300x225 Sanad Dan Ijazah 
Sebagai kata, sanad bermakna lereng bukit atau sesuatu yang dibuat sandaran. Adapun makna sanad sebagai istilah adalah rentetan mata rantai matan (redaksi suatu informasi/pengetahuan/ilmu) yang terdiri dari beberapa orang yang meriwayatkan yang bersambung-sambung. Pengertian terminologis ini umumnya dimaksudkan dalam disiplin ilmu hadits dan qira’at. Keduanya, hadits dan qira’at, menghubungkan rawi (orang yang meriwayatkan) bagil ilmu hadits dan qari (pembaca Al-Qur’an) bagi ilmu qiraa’at, yang berhulu pada Rasulullah SAW.

Sanad adalah silsilah atau mata rantai yang menyambungkan dan menghubungkan sesuatu yang terkait dan bertumpu kepada sesuatu yang lain. Dalam kacamata tasawuf, sanad keilmuan, amalan dzikir dan ketarekatan adalah bersambungnya ikatan bathin kepada guru-guru dan mursyid.

Jadi, dalam sanad ini, terkandung aspek muwashalah (hubungan dan ketersambungan) satu pihak dengan pihak yang lain, akibat adanya tahammul wa al-ada’ (mengambil dan memberi).

Sistem sanad merupakan salah satu mekanisme pencarian ilmu dan pengetahuan yang sempurna. Karena setiap pengetahuan yang dipindahkan itu dapat dipertanggungjawabkan otensitas dan keabsahannya melalui rantaian periwayatan setiap perawi.

Ketelitian ini dapat dilihat dari kaidah ulama hadits dengan hanya mengambil hadits dari perawi yang tsiqah (dapat dipercaya). Begitu juga dengan kaidah disiplin ilmu qira’at.

Disiplin ilmu sanad dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting dalam menjamin keshahihan ilmu yang disampaikan sehingga dianggap sebagai bagian masalah kepentingan agama. Al-Imam Ibnu Sirin (110 H/728 M) mengungkapkan :

“Sesungguhnya ilmu ini (ilmu sanad) termasuk urusan agama. Oleh karena itu, perhatikanlah dari siapa kamu mengambil ajaran agama kamu”.

Begitupun dengan Imam Abdullah bin Al-Mubarak (181 H/797 M), yang menyatakan urgensi ilmu sanad ini dalam ungkapannya :

“Rangkaian sanad itu merupakan bagian agama. Kalu bukan karena menjaga sanad, pasti siapapun akan dapat semaunya mengatakan apa saja yang dia ingin katakan”.

Ibnu Al-Mubarak juga berkata, “Pelajaran ilmu yang tak punya sanad bagaikan menaiki atap tanpa punya tangganya, sungguh telah Allah muliakan umat ini dengan sanad.

Bahkan Imam As-Syafi’I mengingatkan, “Orang yang belajar ilmu tanpa sanad guru bagaikan orang yang mengumpulkan kayu bakar di kegelapan malam. Ia membawa kayu bakar yang diikatnya padahal terdapat padanya ular berbisa dan ia tak tahu”.

Assalamu 'Alaika Ayyuhan Nabiyyu Warahmatullahi Wabarokatuh

Video Streaming Acara Akbar "Majelis Rasulullah"