Qasidah Munajat Al Imam Al Quthb Habib Abdullah Al Haddad
Ya Rasulallah . . .
Selain
itu, Habib Alwi juga meneruskan tradisi Habib Anis mengikuti rangkaian
acara Maulid di Jakarta dan haul di Martapura, Banjarmasin, memenuhi
undangan-undangan yang ditujukan kepada Masjid Riyadh, di Indonesia
maupun luar negeri, seperti Hadhramaut, Malaysia, dan lainnya.
Zawiyah, Masjid Riyadh, Kamis 9 Maret
2012. Penampilan pengganti Habib Anis bin Alwi Al-Habsyi itu terlihat
mantap. Begitu pula, ketika memimpin pembacaan Simthud Durar setiap malam Jum’at, Habib Alwi sudah menuju track tradisi di Masjid Riyadh selama ini.
Hadirin yang datang pun semakin banyak. Tidak saja dari Solo atau daerah-daerah lain di Jawa Tengah, tetapi juga dari Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, bahkan ada juga yang datang dari Malaysia, Singapura, dan Timur Tengah. Khususnya pada acara besar, seperti Legian (Maulid yang jatuh Jum’at Legi), Haul Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi (shahib Simthud Durar), khatam Bukhari, khataman Al-Qur’an, dan ‘uwad (halal bihalal).
Amanah sebagai shahibul maqam di Masjid Riyadh memang begitu mendadak diterimanya. Namun setelah berjalannya waktu, tampaknya ia bisa melaksanakannya dengan baik. Sebab semua acara yang ada di Masjid Riyadh dan lingkungannya adalah tradisi yang sudah dikenal dan dijalankan sejak ia masih kecil, jadi tidak ada yang asing baginya.
“Yang penting menyiapkan mental untuk menerima tugas ini. Amanah ini harus diamalkan dengan landasan keikhlasan. Tanpa itu, kita akan merasa berat,” ujarnya.
Dalam pengakuannya, Habib Alwi
mengatakan bahwa sejak muda tidak ada keinginan secuil pun untuk menjadi
pengganti abahnya, Habib Anis. Sebab kala masih muda, masih ada
kakak-kakaknya, yaitu almarhum Habib Ali, Habib Husin, dan Habib Ahmad.
Namun entah kenapa saudara-saudaranya memilih dirinya menjadi pengganti
abahnya. Bahkan sang pamam, Al-Maghfurlah Habib Ahmad bin Alwi
Al-Habsyi, yang dimintai pendapat, pun punya pendapat yang sama.Hadirin yang datang pun semakin banyak. Tidak saja dari Solo atau daerah-daerah lain di Jawa Tengah, tetapi juga dari Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, bahkan ada juga yang datang dari Malaysia, Singapura, dan Timur Tengah. Khususnya pada acara besar, seperti Legian (Maulid yang jatuh Jum’at Legi), Haul Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi (shahib Simthud Durar), khatam Bukhari, khataman Al-Qur’an, dan ‘uwad (halal bihalal).
Amanah sebagai shahibul maqam di Masjid Riyadh memang begitu mendadak diterimanya. Namun setelah berjalannya waktu, tampaknya ia bisa melaksanakannya dengan baik. Sebab semua acara yang ada di Masjid Riyadh dan lingkungannya adalah tradisi yang sudah dikenal dan dijalankan sejak ia masih kecil, jadi tidak ada yang asing baginya.
“Yang penting menyiapkan mental untuk menerima tugas ini. Amanah ini harus diamalkan dengan landasan keikhlasan. Tanpa itu, kita akan merasa berat,” ujarnya.
Namun, secara tidak langsung, alamat atau pertanda itu sudah ada jauh hari sebelumnya. Dari enam anak Habib Anis, hanya dirilah yang meneruskan usaha batik Habib Anis yang memiliki label dagang “Anis” (Apik dan Manis). Jadi setelah Habib Anis mengundurkan diri dari dunia perdagangan, dirinyalah yang meneruskan usaha batik itu di rumah keluarga, terletak di sebelah barat Masjid Riyadh.
“Dulunya batik tulis, kemudian mencoba batik printing. Tapi karena perdagangan batik mulai menurun, saya hentikan pada tahun 2005,” katanya. Ditambahkan, “Namun saya masih punya keinginan untuk melanjutkan lagi, sebab saya asyik kerja di batik, dan sekarang katanya perdagangan batik sedang ramai lagi.”
Meski keinginan untuk bekerja tetap bersemangat, akhirnya keinginannya itu direm sendiri. Sebab ketika harus memimpin keluarga Al-Habsyi dalam keluarganya dan menjadi imam Masjid Riyadh, waktu untuk bekerja yang lain sudah habis.
“Saya sekarang masih memegang usaha sapi perah di Telukan Sukoharjo, juga membuka toko roti ‘Hani’, dan istri saya membuka warung makan di depan ruko Riyadh,” katanya.
Penamaan toko roti “Hani” juga tetap mengacu kepada kesinambungan hubungan dengan abahnya. Nama “Hani” memiliki kepanjangan “Habib Anis”. Inilah naluri seorang anak yang ingin tetap mengharumkan nama abahnya dalam kehidupannya.
Mengapa ia tetap bekerja, meski harus memimpin berbagai acara yang diselenggarakan di Masjid Riyadh, juga kadang panggilan dari para jama’ah di tempat masing-masing untuk memimpin pembacaan Simthud Durar? Habib Alwi Al-Habsyi mengatakan, sikap ini diambil karena meneladani abahnya.
“Abah mendidik kami supaya tidak menjadi orang yang malas. Meski mendapat tugas sebagai juru dakwah, bekerja juga harus dijalankan. Bukankah Nabi Muhammad juga bekerja?” ujarnya.
Belajar dari Sang Ayah
Habib Alwi adalah anak keempat pasangan Habib Anis dan Syarifah Syifa binti Toha Assegaf. Keenam anak Habib Anis adalah Habib Ali (almarhum, mertua Habib Novel Alaydrus), Habib Husin, Habib Ahmad, Habib Alwi, Habib Hasan, dan Habib Abdillah.
Habib Anis-lah yang dianggap Habib Alwi sebagai guru utamanya. “Saya belajar agama dari beliau, dari membaca Al-Qur’an hingga ilmu tasawuf dan ilmu kehidupan lainnya,” tuturnya.
Habib Alwi ingat, ia belajar membaca Al-Qur’an dimulai dengan mengeja huruf Hijaiyah ba’da maghrib di Masjid Riyadh. Tradisi membaca Al-Qur’an bersama setiap ba’da maghrib sampai sekarang masih dilestarikannya.
Kemudian, ia belajar di Madrasah Arrabitah Al-Alawiyah, yang berada di samping rumahnya. Lalu ia meneruskan di SMP Islam Diponegoro dan SMA Negeri 3, semuanya di Solo.
Tahun 1977, ia mencari kerja di Saudi. Dua tahun di Jeddah sebagai pegawai apotek, dan di kota Damman sebagai pegawai tokoh parfum.
Di Saudi, ia memperlancar bahasa Arab, sambil tabarukan kepada beberapa habib, seperti Habib Ahmad bin Abdul Qadir Assegaf di Jeddah dan Habib Abu Bakar Aththas Al-Habsyi di Makkah.
Beberapa waktu kemudian Habib Alwi pulang ke kampung halaman dan kemudian menikah dengan Syarifah Zahra binti Isa Mulachela, orang Solo juga. Pasangan ini sekarang dikarunia empat anak: Khadijah (menikah dengan Sayyid Sholeh Muza bin Musthafa Mulachela, dan tinggal di Australia), Fathimah, Muhammad (almarhum), dan Hanna.
Pasangan Alwi-Zahra memang dikenal sebagai pekerja keras. Selain meneruskan pengelolaan batik “Anis”, Habib Alwi juga membuka usaha lainnya. Semula sapi potong, kemudian beralih sapi perah. Di rumah ia juga membuka toko roti “Hani” pada tahun 2008. Sedang istrinya membuka usaha warung makan, dan sekaligus catering, untuk menjamu tamu-tamu yang datang ke Masjid Riyadh.
Ia kemudian mengisahkan kenangan bersama sang abah. Dalam kesibukannya bekerja, Habib Anis tetap mengajar anak-anaknya dalam berbagai hal ilmu agama. Kadang-kadang Habib Anis membaca kalam-kalam Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, kemudian kitab-kitab yang ditulis Habib Abdullah Al-Haddad, dan yang paling sering adalah kajian kitab Ihya Ulumuddin.
“Bagi Habib Anis, yang paling penting dalam mempelajari ilmu agama adalah supaya memiliki akhlaq yang mulia. Meski berilmu tingga kalau tidak memiliki akhlaq, ilmunya tidak ada artinya apa-apa. Jadi kami dididik terutama dalam bidang akhlaq,” tuturnya.
Pelajaran-pelajaran itulah yang kemudian dijadikan modal untuk mengemban amanah sebagai imam dan shahibul maqam di Masjid Riyadh hingga sekarang. Pelajaran-pelajaran Habib Anis yang disampaikan di zawiyah, di ruang tamu, dan dalam pertemuan keluarga, menjadi bekal berharga dalam melanjutkan tradisi yang sudah berjalan di Masjid Riyadh.
Selama setahun, Masjid Riyadh memiliki beberapa event yang harus diselenggarakan. Terutama adalah haul Habib Ali di bulan Rabi’ul Akhir, kemudian khatam Bukhari pada bulan Rajab, dan Tarawih serta khataman Al-Qur’an pada bulan Ramadhan, ‘uwad pada hari kedua ‘Idul Fithri, tahlil haul Habib Anis pada bulan Syawwal, penyembelihan qurban pada bulan Dzulhijjah, serta tahlil Habib Alwi di bulan Rabi’ul Awwal.
Sementara acara mingguan adalah membaca Simthud Durar setiap malam Jum’at. Khusus pada malam Jum’at Legi diadakan acara Legian, diiringi qashidah, hadhrah, dan mau’izhah. Sedang untuk malam Jum’at biasa acara garingan (tidak diberi makan, hanya roti Hani dan kopi susu).
Selain itu, Habib Alwi juga meneruskan tradisi Habib Anis mengikuti rangkaian acara Maulid di Jakarta dan haul di Martapura, Banjarmasin, memenuhi undangan-undangan yang ditujukan kepada Masjid Riyadh, di Indonesia maupun luar negeri, seperti Hadhramaut, Malaysia, dan lainnya.
“Saya sekadar meneruskan tradisi Abah,” katanya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar