Syaikh Abu Bakar bin Salim, pernah tinggal selama beberapa lama, berpuasa tanpa berbuka kecuali kurma keras. Juga pernah berdiam selama empat puluh tahun melaksanakan shalat Subuh dengan wudhlu’ dari shalat Isya’.
Dikisahkan oleh salah seorang murid beliau Syaikh Hasan Basyu’aeb, bahwa beliau pernah merasa lapar selama satu atau dua minggu. Bahkan pernah melalui masa satu tahun tanpa memejamkan mata. Dikisahkan, beliau di Yabkhar pernah tidak makan selama sembilan puluh hari, artinya tiga bulan. Dan bahwa beliau pernah melaksanakan shalat Subuh dengan wudhu’ Isya’ selama empat puluh tahun. Setiap malam beliau pergi berziarah ke pekuburan di kota Tarim. Kemudian kembali dan melaksanakan shalat Subuh di Masjid Ba’isa di Lasik.
Beliau berkata: “Saya pernah mendengar kakek saya Syaikh Ahmad bin Hasan Basyu’aeb, bahwa beliau membaca kitab Al-Minhâj sebanyak tiga kali. Dan melalui kisah dari beliau atau orang lain, bahwa kakeknya sudah membaca kitab Al-Ihyâ sebanyak empat puluh kali.
Syaikh Abdullah bin Alawi al-Haddad sejak kecil melakukan shalat sebanyak dua ratus rakaat di masjid Bani Alawi. Apabila pulang dari tempat pendidikan pada waktu Dhuha, beliau suka mengunjungi beberapa masjid bersama rekan belajarnya, Syaikh Ahmad bin Abdullah Bilfaqih. Lalu masing-masing melakukan shalat seratus rakaat. Beliau juga banyak membaca zikir terutama ucapan “lâ ilâha illallâh” bahkan ketika sedang berbincang-bincang dengan orang lain ataupun sedang belajar.
Syaikh Ahmad bin Zein al-Habsyi pada masa kanak-kanak, beliau sudah cenderung, berupaya dan berambisi untuk meningkatkan perbuatan-perbuatan baik dan kebaktian, khususnya dalam bidang menuntut ilmu. Beliau suka melakukan perjalanan ke kota-kota sekitarnya, sejak dari al-Ghirfah, ke Syibam, Turais dan Sewun dengan berjalan kaki sampai ke Tarim dalam rangka menuntut ilmu. Tanpa mempersoalkan masalah makan. Beliau makan seadanya. Menekan diri hidup dengan sederhana, sehingga sudah merasa cukup dengan hanya tiga suap. Bahkan tidak mampu makan lebih dari tiga suap. Adakalanya beliau berhasrat kepada makanan-makanan yang baik, tetapi ia tidak dapat memakannya karena usus-ususnya sudah menyempit sehingga tidak dapat memuatnya.
Salah seorang guru kami Al-’ârif billâh Habib Hasan bin Shalih al-Bahar juga memiliki kepribadian serupa, sebagaimana hal itu kami dengar dari orang-orang terpercaya. Seorang guru kami yang juga merupakan guru dari para guru kami Al-’ârif billâh Habib Idrus bin Umar al-Habsyi menanyakan kisah tersebut kepada guru beliau Habib Hasan, lalu beliau pun membenarkannya.
Di antaranya membatasi makan, tekun melakukan riyadhah (latihan jiwa), sampai jiwanya tidak dapat menerima makanan. Apabila sesekali ia makan roti milik ibunya, maka roti itu tidak dapat bertahan di perutnya, tetapi cenderung hendak keluar, lalu ia pun mengeluarkannya. Ia pun tinggal sekian lama dalam rangka menuntut ilmu di Tarim kepada al-Aswadain dengan hanya makan kurma dan air.
Guru kami yang juga guru para guru kami Habib Idrus berkata: “Habib Hasan bin Shalih suka bepergian ke Tarim untuk menuntut ilmu. Beliau bersama dengan Mu’allim Abdullah bin Salim bin Sumair, keduanya tinggal beberapa lama di sana tanpa makanan kecuali sedikit kurma untuk pagi dan petang dalam rangka melatih jiwa dan dalam rangka meneladani beliau SAW. yang mana Rasul SAW. pernah melalui masa dua bulan tanpa makanan kecuali kurma dan air.
Lebih lanjut Habib Hasan berkata kepada Mu’allim Abdullah: “Marilah kita ganti makanan kita dengan tepung masam dan bukan kurma. Sebab cahaya dari makanan tepung lebih utuh dan lebih sempurna dibanding kurma.” Mu’allim menjawab: “Cukuplah bagi kita cahaya kurma, tidak perlu kita memperluas ke cahaya tepung.”
Demikian diriwayatkan oleh salah seorang ulama besar muridnya, yaitu Habib Ubaidullah bin Muhsin as-Saggaf yang telah menghimpun ucapan-ucapan beliau.
Yang dimaksud dengan makanan “tepung masam” di atas, adalah makanan sejenis adonan tepung yang minyaknya sudah dikeluarkan.
Pada masa-masa beliau tinggal di Syibam, maka beliau berbuka dalam bulan Ramadhan dengan hanya roti jagung yang kerapkali bersifat kurang bersih dan tidak lezat. Disertai dengan minum kopi. Bahkan beliau juga melakukan puasa selama beberapa hari tanpa merasakan minum kopi sekalipun di dalam berbuka.
Beliau banyak membaca al-Quran di dalam shalat dua rakaat. Pada malam-malam tertentu, beliau suka membaca Surat al-Ikhlâsh sampai sembilan puluh ribu kali. Dan terjadi beberapa kali, beliau membaca Surat Yaa Siin sebanyak empat puluh kali di dalam satu kali duduk. Secara rutin membaca kalimat tauhid. Maka tersingkaplah kepada beliau berbagai kasyf (penglihatan ke alam gaib) yang penting.
Masa-masa ketika beliau tinggal di Tarim, tidak lain hanya sekedar untuk mengistirahatkan kepala beliau.
Pernah terjadi pada awal beliau menjadi populer, ketika itu beliau tinggal di Tarim, tiba-tiba ada tiga ekor ayam jantan naik ke atas dinding tempat beliau berada. Lalu salah seekor daripadanya mengajaknya berbicara dengan bahasa yang jelas dan uraian yang fasih.”
Terdapat cerita-cerita lain tentang mujahadahnya dan juga keanehan-keanehan dalam jumlah banyak.
Demikian juga salah seorang guru dari para guru kami Imam Besar Abdullah bin Husain bin Thahir. Beliau melakukan mujahadah-mujahadah yang berat dalam upaya menjaga waktu, mengerahkan perhatian untuk berzikir dan berdoa. Setiap hari beliau membaca 25.000 (dua puluh lima ribu) kali “lâ ilâha illallâh”, 25.000 kali “yâ Allâh”, dan bershalawat kepada Nabi SAW. sebanyak 25.000 kali. Masih ditambah dengan berbagai wirid dan zikir. Beliau suka mandi dan memakai minyak wangi setiap hendak melaksanakan ibadah wajib.
Pernah ada seseorang yang memberi hadiah sebuah jam kepada beliau dan mengajarkan kepada beliau cara menjalankannya. Tiba-tiba jam itu tidak berjalan. Beliau ditanya tentang jam itu. Lalu menjawab: “Saya tidak punya waktu untuk menjalankannya.”
Habib Umar bin Zein bin Smith termasuk seorang ahli mujahadah yang ulung. Beliau pernah tinggal selama sekitar tujuh belas tahun tanpa menempatkan punggungnya ke lantai.
Habib Shalih bin Abdullah Al-’Aththas, pada awalnya beliau memiliki berbagai jenis mujahadah. Tinggal di Makkah selama tiga bulan tanpa makanan kecuali air zam-zam. Beliau selalu perhatian kepada Allah sekalipun berada di tengah khalayak ramai dan mengucilkan diri dari mereka.
Habib Abu Bakar Al-’Aththas memiliki berbagai ragam mujahadah dan zikir. Di antara wirid beliau setiap malam adalah membaca Surat Yâ Sîn seribu kali. Kemudian menguranginya pada akhir usia beliau sebatas dua ratus lima puluh kali setiap malam. Guru kami mengatakan: “Kami belum pernah melihat sedikit pun dari wirid-wirid beliau yang lain (selain Surat Yâ Sîn –pen).” Atau ucapan seperti itu.
Habib Thahir bin Umar al-Haddad tidak tidur pada malam hari selain hanya tiga jam saja. Seluruh waktunya dikerahkan untuk tugas-tugas ibadah, tidak pernah kosong.
Guru kami mengatakan: “Abid-abid dari kalangan kami pada zaman ini adalah Thahir bin Umar al-Haddad, Abdullah bin Hasan al-Bahar, Abdur Rahman bin Muhammad al-Masyhur, dan Zain bin Shalih bin Aqil bin Salim.”
Menurut pendapat kami, mereka juga memiliki berbagai metode-metode, upaya-upaya mengerahkan perhatian, juga konsenstrasi dalam ibadah yang terlalu panjang lebar untuk dijelaskan.
Kakek kami Habib Abdullah bin Thaha al-Haddad, tergolong orang yang memfokuskan diri ke arah keilmuan dan ibadah, disertai sikap zuhud dan kesederhanaan. Selanjutnya beliau pun dikuasai suasana zikir hati dan lidah, baik pada malam maupun siang hari, dalam keadaan terjaga maupun tidur, sehingga beliau dijuluki “si tukang bergumam”, karena banyak bergumam di dalam dzikrullah, bershalawat serta salam kepada Rasulullah SAW. Seperti itu pula sikap putra beliau, yaitu paman kami Habib Shalih bin Abdullah al-Haddad.
Sementara guru kami penyusun kitab manaqib, maka sudah kami jelaskan sebagian dari kepribadian beliau pada pasal pertama yang lalu. Berikut nanti akan kami tambahkan dengan beberapa hal yang belum dijelaskan.
Sumber : Kitab Uqudul Almas karya sayid Alwi bin Thahir al-Haddad.
Sumber :
http://benmashoor.wordpress.com/2009/08/25/mujahadah-tokoh-alawiyin-2/