Qasidah Munajat Al Imam Al Quthb Habib Abdullah Al Haddad
Ya Rasulallah . . .
Penyebaran
pembaharuan keilmuan Islam di Betawi abad ke-19 dan 20 merupakan proses
penerusan ulama Nusantara yang memiliki hubungan intelektual dengan ulama
Makkah abad sebelumnya. Mereka telah menjalin hubungan erat dengan sejumlah
tokoh penting di pusat keilmuan Makkah. Keterlibatan ulama Nusantara dalam
jaringan ulama Haramain dimulai pada paruh kedua abad ke-17 yang dimulai oleh Nuruddin ar-Raniri (w. 1069 H/1658 M), Abdur Rauf Singkel (1035-1105
H/1615-1693 M) dan Yusuf al-Maqassari
(1626-1699). Kemudian disusul oleh ulama abad ke-18 yaitu Abdul Shomad al-Palimbani (1704-1788), Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812), Dawud bin Abdullah al-Fatani (1718-1847), Muhammad Nafis al-Banjari (1735-1812) dan Abdurrahman al-Mashri al-Batawi.
Abdurahman
Al-Mashri Al-Batawi bersama Muhammad Arsyad Al-Banjari, Abdul Wahab Al-Bugisi kembali ke Nusantara pada 1186/1773. Sebelum
ke Banjarmasin, atas permintaan Al-Batawi, Muhammad Arsyad tinggal di Batavia
selama dua bulan. Kendati dia tinggal di Batavia hanya untuk waktu yang relatif
singkat tetapi dia mampu melakukan pembaruan penting bagi kaum Muslim di
Batavia. Beberapa masjid di Batavia dibetulkan arah kiblatnya. Menurut
perhitungannya, kiblat masjid-masjid di Jembatan Lima (Masjid Kampung
Sawah/Masjid Al-Mansur) dan Pekojan, tidak diarahkan secara benar menuju Ka’bah
dan karenanya harus dirubah. Kontroversipun bermunculan di kalangan para
pemimpin muslim di Batavia sehingga gubernur jenderal Belanda memanggil
Muhammad Arsyad untuk mengklarifikasi masalah itu. Muhammad Arsyad menjelaskan
perhitungan secara matematis sehingga membuat gubernur terkesan dan memberikan
hadiah kepadanya. Di kemudian hari, pembetulan arah kiblat itu juga diusulkan
Abdurahman Al-Batawi di Palembang ketika dia mengadakan perjalanan ke sana
sekitar tahun 1800 yang juga menimbulkan kontroversi di sana.
Ulama
Betawi berikutnya adalah Sayyid Usman
bin Abdullah bin Aqil bin Yahya (1822-1914). Ayahnya adalah Sayyid Abdullah
bin Aqil bin Umar bin Yahya. Sedangkan ibunya adalah Aminah binti Syaikh
Abdurahman Al-Mashri Al-Batawi. Sayyid Usman pergi ke Makkah untuk menunaikan
ibadah haji kemudian belajar di sana selama 7 tahun. Dia belajar kepada ayahnya
dan Sayyid Ahmad Zaini Dahlan,
seorang mufti Makkah. Pada tahun 1848 Sayyid Usman berangkat ke Hadramaut dan
menimba ilmu kepada Syaikh Abdullah bin Husein bin Thahir, Habib Abdullah bin
Umar bin Yahya, Habib Alwi bin Saggaf Al-Jufri dan Habib Hasan bin Shaleh Al-Bahar.
Ulama
Betawi terkemuka lainnya adalah Habib
Ali Abdurrahman Al-Habsy (1869-1968). Habib Ali ditinggal wafat ayahnya,
Habib Abdurrahman ketika ia berusia 12 tahun. Ayahnya berwasiat kepada
istrinya, Nyai Salmah—seorang putri Betawi asli yang berasal dari Mester Pulo
(Jatinegara sekarang)—agar Habib Ali dikirim belajar ke Hadramaut dan Makkah.
Habib Ali akhirnya diberangkatkan ke Hadramaut ketika umurnya masih 12 tahun.
Di Hadramaut Habib Ali berguru kepada Habib
Ali bin Muhammad Al-Habsyi, Habib
Ahmad bin Hasan Al-Attas, Habib Abdurahman bin Muhammad Al-Masyhur dan lain
sebagainya.
Sumber :
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar