Qasidah Munajat Al Imam Al Quthb Habib Abdullah Al Haddad
Ya Rasulallah . . .
SYAIR BURDAH ALBUSHIRI 1
Cinta Sang Kekasih
Apakah karena Mengingat Para kekasih di Dzi Salam.
Kau campurkan air mata di pipimu dengan darah.
Ataukah karena angin berhembus dari arah Kazhimah.
Dan kilat berkilau di lembah Idlam dalam gulita malam.
Mengapa bila kau tahan air matamu ia tetap basah.
Mengapa bila kau sadarkan hatimu ia tetap gelisah.
Apakah sang kekasih kira bahwa tersembunyi cintanya.
Diantara air mata yang mengucur dan hati yang bergelora.
Jika bukan karena cinta takkan kautangisi puing rumahnya.
Takkan kau bergadang untuk ingat pohon Ban dan ‘Alam.
Dapatkah kau pungkiri cinta, sedang air mata dan derita.
Telah bersaksi atas cintamu dengan jujur tanpa dusta.
Kesedihanmu timbulkan dua garis tangis dan kurus lemah.
Bagaikan bunga kuning di kedua pipi dan mawar merah.
Memang terlintas dirinya dalam mimpi hingga kuterjaga.
Tak hentinya cinta merindangi kenikmatan dengan derita.
Maafku untukmu wahai para pencaci gelora cintaku.
Seandainya kau bersikap adil takkan kau cela aku.
Kini kau tahu keadaanku, pendusta pun tahu rahasiaku.
Padahal tidakjuga kunjung sembuh penyakitku.
Begitu tulus nasihatmu tapi tak kudengar semuanya.
Karena untuk para pencaci, sang pecinta tuli telinganya.
Aku kira ubanku pun turut mencelaku.
Padahal ubanku pastilah tulus memperingatkanku.
Cinta Sang Kekasih
Apakah karena Mengingat Para kekasih di Dzi Salam.
Kau campurkan air mata di pipimu dengan darah.
Ataukah karena angin berhembus dari arah Kazhimah.
Dan kilat berkilau di lembah Idlam dalam gulita malam.
Mengapa bila kau tahan air matamu ia tetap basah.
Mengapa bila kau sadarkan hatimu ia tetap gelisah.
Apakah sang kekasih kira bahwa tersembunyi cintanya.
Diantara air mata yang mengucur dan hati yang bergelora.
Jika bukan karena cinta takkan kautangisi puing rumahnya.
Takkan kau bergadang untuk ingat pohon Ban dan ‘Alam.
Dapatkah kau pungkiri cinta, sedang air mata dan derita.
Telah bersaksi atas cintamu dengan jujur tanpa dusta.
Kesedihanmu timbulkan dua garis tangis dan kurus lemah.
Bagaikan bunga kuning di kedua pipi dan mawar merah.
Memang terlintas dirinya dalam mimpi hingga kuterjaga.
Tak hentinya cinta merindangi kenikmatan dengan derita.
Maafku untukmu wahai para pencaci gelora cintaku.
Seandainya kau bersikap adil takkan kau cela aku.
Kini kau tahu keadaanku, pendusta pun tahu rahasiaku.
Padahal tidakjuga kunjung sembuh penyakitku.
Begitu tulus nasihatmu tapi tak kudengar semuanya.
Karena untuk para pencaci, sang pecinta tuli telinganya.
Aku kira ubanku pun turut mencelaku.
Padahal ubanku pastilah tulus memperingatkanku.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar