Qasidah Munajat Al Imam Al Quthb Habib Abdullah Al Haddad
Ya Rasulallah . . .
Abu Hurairah رضي الله تعالى عنه meriwayatkan : "Setelah Isya` aku bersama `Umar ibn Khathab رضي الله تعالى عنه pergi ke rumah Abu Bakar as-Shiddiq رضي الله تعالى عنه untuk suatu keperluan. Sewaktu melawati pintu rumah RasuluLlah صلى الله عليه وآله وسلم, kami mendengar suara rintihan. Kami pun terhenyak lalu berhenti sejenak. Kami dengar beliau menangis dan meratap :
"Ahh.. andaikan saja aku dapat hidup terus untuk melihat apa yang diperbuat oleh ummatku terhadap shalat. Ahh.. aku sungguh menyesali ummatku."
"Wahai Abu Hurairah, mari kita ketuk pintu ini," kata `Umar رضي الله تعالى عنه.
`Umar kemudian mengetuk pintu.
"Siapa?," tanya `Aisyah رضي الله تعالى عنها
"Aku bersama Abu Hurairah."
Kami meminta izin untuk masuk dan ia mengizinkannya. Setelah masuk, kami lihat RasuluLlah صلى الله عليه وآله وسلم sedang bersujud dan menangis sedih, beliau berkata dalam sujudnya :
"Duhai Tuhanku, Engkau adalah Waliku bagi ummatku,
maka Perlakukan mereka sesuai SifatMU ( Maha Pengasih )
dan JANGAN Perlakukan mereka sesuai perbuatan mereka." **
"Ya RasuluLlah, ayah dan ibuku menjadi tebusanmu. Apa gerangan yang terjadi, mengapa engkau begitu sedih?"
"Wahai `Umar, dalam perjalananku ke rumah `Aisyah sehabis mengerjakan shalat di Masjid, Jibril عليه السلام mendatangiku dan berkata, "Wahai Muhammad, ALLAH yang Maha Benar Mengucapkan Salam kepadamu," kemudia ia berkata, "Bacalah!"
"Apa yang harus kubaca?"
"Bacalah : "Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan."
- Surah Maryam ayat 59
"Wahai Jibril, apakah sepeninggalku nanti ummatku akan mengabaikan shalat?"
"Benar, wahai Muhammad, kelak di akhir zaman akan datang sekelompok manusia dari ummatmu yang mengabaikan shalat, mengakhirkan shalat hingga keluar dari waktunya, dan memperturutkan hawa nafsu. Bagi mereka satu dinar lebih berharga daripada shalat."
Hadiths ini juga diriwayatkan oleh Ibnu `Umar رضي الله تعالى عنه." - Dari kitab "Shalat Para Wali", himpunan karangan Habib Hasan ibn Shaleh al-Bahr al-Jufri رحمة الله تعالى عليه dengan terjemahan oleh Ustaz Novel Muhammad al-`Aydrus حفظه الله تعالى. ** ALLAHu ALLAH, perhatikanlah doa ini wahai diri... صلوا على النبي
Diantara kalam nasihat beliau;
Habib Hasan bin Shaleh al-Bahr al-Jufri رحمة الله تعالى عليه :
"Kenikmatan yang disegerakan,
kebaikan yang diangankan dan kehidupan yang baik
hanya terdapat dalam ketaatan kepada ALLAH."
Wahai ALLAH, wahai Tuhan kami, Kurniakanlah kepada kami keinginan sungguh-sungguh
untuk mengikuti jejak langkah Junjungan kami Nabi Muhammad ﷺ awalnya,
akhirnya, lahirnya, batinnya, perkataannya, perbuatannya, ibadatnya dan amal baktinya.
Amiin Ya ALLAH, Ya Rabb, Ya Rahman, Ya Rahim, ya Qarib, ya Mujib, Ya Hayyu, Ya Qayyum,
Ya Dzal Jalali wal Ikram wa bi jaahi Sayyidina Muhammadinil Habibil Mahbub ﷺ... ♥
Sumber :
http://ukhti27.blogspot.com/2011/03/kita-dicintai-rasulullah.html
"Ahh.. andaikan saja aku dapat hidup terus untuk melihat apa yang diperbuat oleh ummatku terhadap shalat. Ahh.. aku sungguh menyesali ummatku."
"Wahai Abu Hurairah, mari kita ketuk pintu ini," kata `Umar رضي الله تعالى عنه.
`Umar kemudian mengetuk pintu.
"Siapa?," tanya `Aisyah رضي الله تعالى عنها
"Aku bersama Abu Hurairah."
Kami meminta izin untuk masuk dan ia mengizinkannya. Setelah masuk, kami lihat RasuluLlah صلى الله عليه وآله وسلم sedang bersujud dan menangis sedih, beliau berkata dalam sujudnya :
"Duhai Tuhanku, Engkau adalah Waliku bagi ummatku,
maka Perlakukan mereka sesuai SifatMU ( Maha Pengasih )
dan JANGAN Perlakukan mereka sesuai perbuatan mereka." **
"Ya RasuluLlah, ayah dan ibuku menjadi tebusanmu. Apa gerangan yang terjadi, mengapa engkau begitu sedih?"
"Wahai `Umar, dalam perjalananku ke rumah `Aisyah sehabis mengerjakan shalat di Masjid, Jibril عليه السلام mendatangiku dan berkata, "Wahai Muhammad, ALLAH yang Maha Benar Mengucapkan Salam kepadamu," kemudia ia berkata, "Bacalah!"
"Apa yang harus kubaca?"
"Bacalah : "Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan."
- Surah Maryam ayat 59
"Wahai Jibril, apakah sepeninggalku nanti ummatku akan mengabaikan shalat?"
"Benar, wahai Muhammad, kelak di akhir zaman akan datang sekelompok manusia dari ummatmu yang mengabaikan shalat, mengakhirkan shalat hingga keluar dari waktunya, dan memperturutkan hawa nafsu. Bagi mereka satu dinar lebih berharga daripada shalat."
Hadiths ini juga diriwayatkan oleh Ibnu `Umar رضي الله تعالى عنه." - Dari kitab "Shalat Para Wali", himpunan karangan Habib Hasan ibn Shaleh al-Bahr al-Jufri رحمة الله تعالى عليه dengan terjemahan oleh Ustaz Novel Muhammad al-`Aydrus حفظه الله تعالى. ** ALLAHu ALLAH, perhatikanlah doa ini wahai diri... صلوا على النبي
Diantara kalam nasihat beliau;
Habib Hasan bin Shaleh al-Bahr al-Jufri رحمة الله تعالى عليه :
"Kenikmatan yang disegerakan,
kebaikan yang diangankan dan kehidupan yang baik
hanya terdapat dalam ketaatan kepada ALLAH."
Wahai ALLAH, wahai Tuhan kami, Kurniakanlah kepada kami keinginan sungguh-sungguh
untuk mengikuti jejak langkah Junjungan kami Nabi Muhammad ﷺ awalnya,
akhirnya, lahirnya, batinnya, perkataannya, perbuatannya, ibadatnya dan amal baktinya.
Amiin Ya ALLAH, Ya Rabb, Ya Rahman, Ya Rahim, ya Qarib, ya Mujib, Ya Hayyu, Ya Qayyum,
Ya Dzal Jalali wal Ikram wa bi jaahi Sayyidina Muhammadinil Habibil Mahbub ﷺ... ♥
Sumber :
http://ukhti27.blogspot.com/2011/03/kita-dicintai-rasulullah.html
Sifat-sifat indah yang dimiliki sosok yang bercermin pada pribadi Nabi Muhammad saw tidaklah bisa diungkapkan oleh kata-kata, bahkan setiap yang ingin sempurna dalam mengungkapkannya masih ada kurangnya, tetapi kita bisa ambil garis besar dari sifat terpuji ini. Sosok semacam al-Habib Umar bin Smith merupakan gambaran pribadi pewaris Nabi Muhammad saw, yang telah menyatukan antara ilmu dan kedudukan yang tinggi di sisi Allah swt.
Kalau kita lihat tingkah laku, ilmu, kasih sayang, kedermawanan, kerendahan hati, juga keistimewaan yang Allah swt anugerahkan kepadanya, pasti masing-masing membutuhkan perincian tersendiri, tentu saja akan memakan waktu yang tidak sedikit mengungkapkannya, semuanya menarik hati dan membuat lidah untuk memuji, tak disangkal hal yang demikian ini merupakan bukti sebagai pewaris Nabi Muhammad saw. Warisan ini terus ada dari generasi ke generasi baik dalam mengemban ilmu maupun penerapannya, mereka mengemban misi Nabi Muhammad saw yang disebutkan dalam sebuah hadisnya: “Sesungguhnya aku diutus semata-mata untuk menyempurnakan budi pekerti yang mulia.”
Sifat-sifatnya yang menunjukkan kesetiaannya dalam menjalankan syariat, ucapan, perbuatan dan gerak-geriknya semuanya tidak luput dari tuntunan syariat, jiwanya telah terdidik oleh didikan guru-gurunya, hingga ia menjadi contoh dalam mengikuti jejak Nabi Muhammad saw.
Barangsiapa yang mengikuti Nabi Muhammad saw dalam ucapan dan perbuatan, dan terus menerapkannya dengan penuh kesungguhan kepada Allah swt, ia menjadi wakil dari Nabi Muhammad saw, mendapat keistimewaan dalam kehidupan ini dengan izin untuk menginginkan apapun sesukanya dan semuanya dalam lingkup jaminan Allah swt, ini semua tergolong dalam rahasia dari hadis qudsi riwayat al-Imam al-Bukhari bahwa Allah swt berfirman: “Tidaklah hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan berbagai ibadah sunnah hingga Aku mencintainya, kalau Aku mencintainya Akulah yang menjadi pendengaran baginya, penglihatan baginya, lisannya yang ia gunakan untuk berbicara, kakinya yang ia gunakan untuk berjalan, tangannya yang ia gunakan untuk bergerak, kalau ia memohon kepadaku pasti aku penuhi dan kalau ia minta perlindunganKu pasti Aku lindungi.”
Ini sewaktu mereka di dunia adapun sewaktu mereka di akhirat telah Allah terangkan dalam ayat syafa’at: “Dan mereka tidak dapat memberi syafa’at kecuali yang Ia ridhai.”
Mereka mendapatkan mandat ini setelah ada izin dari Allah swt. Kiranya siapa lagi yang diridhai oleh Allah swt setelah para nabi dan rasul? Apa para pelaku kemaksiatan atau orang yang bodoh atau mandat diberikan kepada kalangan yang mewakili Nabi Muhammad saw. Banyak sekali hadis yang meriwayatkan siapa saja kalangan yang mendapat hak untuk memberi syafa’at, diantaranya: “Kelak yang memberi syafa’at ada tiga: para Nabi, para Ulama dan para Wali.”
Dan masih banyak lagi riwayatnya, ini masih kategori dhahir adapaun secara batin, Allah swt telah berfirman: “Wahai jiwa yang tenang kembalilah kepada Tuhanmu dalam keadaan ridha dan diridhai.” (Qs.al-Fajr ayat:27-28)
Para ahli tafsir mengatakan: “Arti ridha disini ia rela dengan menerima pahala yang begitu besar disamping anugrah besar lainnya yang menggembirakan hati dan menenangkan jiwa hingga jiwa ini puas dan rela kembali kepada Tuhannya. Dalam arti sebagaimana engkau rela kepada-Ku maka Akupun rela kepadamu. Nabi Muhammad saw menggambarkan tentang amalan para salihin dari kalangan umatnya: Tuhan mereka menampakkan diri kepada mereka lalu ia bertanya: “Apakah Aku sudah membuat kalian puas? Mereka menjawab:”Wahai Tuhan, bagaimana kami tidak puas, sedangkan Engkau telah memberi kami surga dan memberi kami ridha-Mu yang terbesar.”
Diantara tanda keridhaan Allah swt terhadap mereka ialah menjadikan keadaan mereka menjadi salah satu contoh paling sederhana bagaimana kelak kedatangan hamba ini kepada Tuhannya, tatkala jiwa dan hatinya menghadap Tuhannya saat itu ia dikelilingi para malaikat dan para salihin lainnya, saat itu akan diberikan padanya apa saja yang ia mau disana.
Sosok seperti Nabi Muhammad saw ini merupakan gambaran sosok yang Allah swt lindungi dari berbagai cacat dalam hidup ini, cukuplah hal ini sebagai pertanda yang Allah swt berikan kepada Nabi Muhammad saw, jadi kehadiran kita pada majelis ini untuk memperingati wafatnya tak lain adalah untuk mengambil berkah melalui keistimewaan yang Allah berikan padanya di saat ia menghadap kepada Tuhannya. Kalau ajal seseorang bagaimanapun jua telah ditentukan oleh Allah swt. Tetapi warisan Nabi Muhammad saw tidak pernah usai dan punah, tetapi justru akan terus berkembang dan terus semakin besar, karena ini telah menjadi jaminan Allah swt, sebagaimana dalam sebuah firman-Nya: “Allah telah menentukan:Aku menangkan Aku dan Rasul-Ku.” (Qs.al-Mujadalah ayat:21).
Para ulama mengatakan: “Kehadiran kita disaat semacam ini tak lain untuk mendapat berkah beliau melalui rahmat ilahi yang tercurahkan, karena rahmat itu senantiasa tercurahkan, utamanya di acara suka dan duka, sebagaimana yang disebutkan dalam sabda Nabi Muhammad saw: “Ketahuilah sesungguhnya setiap saat Tuhan kalian memiliki curahan rahmat, karena itu hadanglah rahmat-rahmat itu.”
Apalagi saat diangkatnya nyawa para salihin merupakan saat paling banyaknya curahan rahmat itu, karena Allah swt menyatakan dalam surat al-Baraqbah: nabi mereka berkata kepada mereka: “Sesungguhnya tanda-tanda kerajaannya Ia akan datangkan kepada kalian tabut yang berisi ketenangan dari Tuhan kalian dan ada sisa dari peninggalan keluarga Musa dan Harun yang nanti akan dibawa oleh para malaikat.”
Sisa peninggalan ini berupa tongkat Nabi Allah Musa as dan kedua sandalnya, serta beberapa kain usang dari sisa baju beliau, sisa peninggalan ini menjadi pengundang rahmat terbesar bagi tentara mereka hingga Nabi mereka mengatakan: “Kalau kalian ingin menang, maka letakkan di depan tabut itu.” Setelah mereka letakkan di depan datanglah kemenangan dari Allah swt.
Kalau itu masih peninggalan dari keluarga Nabi Allah Musa as lalu bagaimana dengan peninggalan keluarga Nabi Muhammad saw? Lalu dengan para ulama dari kalangan umat Rasulullah saw yang mana mereka telah Rasulullah saw samakan dengan para nabi Bani Israil seperti dalam hadisnya: “Ulama umatku seperti para Nabi Bani Israil.”
Mereka mendapat kedudukan yang tinggi dan kedudukan ini tetap terjaga sebagaimana firman Allah swt di dalam al-Qur’an: “Allah akan senantiasa mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (Qs.al-Mujadalah ayat:11)
Dalam firman-Nya yang lain: “Allah bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Dia dan para malaikat juga orang-orang yang berpengetahuan yang mendirikan keadilan.” (Qs.al-Imran ayat:18)
Dikisahkan ada seorang yang mengajukan tuntutan kepada orang lain di hadapan Qadhi (Hakim) Ismail Zamalkani, setelah tersangka dihadirkan di hadapannya, ia bertanya kepada penuntut: “Yang engkau bawa sumpah atau dua orang saksi?” Ia menjawab: “Dua orang saksi.” Lalu dimana keduanya? Tanya sang hakim. Ia menjawab: “Ini keduanya.” Kemudian ia berkata: “Kalau yang ini aku kenal, tapi kalau satunya aku tidak kenal tolong engkau perkenalkan terlebih dahulu.” Ia menjawab: “Bagaimana engkau tidak kenal, padahal yang lebih baik darimu sudah memperkenalkannya.” Sang hakim bertanya: “Siapa orangnya yang lebih baik dariku itu?” Ia menjawab: “Orangnya adalah Rasulullah saw sebagaimana dalam sabdanya: “Kelak yang akan mengemban ilmu ini dari setiap generasi ialah orang-orang yang paling bijak, mereka menolak pemalsuan yang dilakukan orang yang fanatik buta dan kerancuan mereka salah.”
Jadi sosok beliau ini termasuk ulama umat ini yang mendapatkan kesaksian dari Rasulullah saw sedemikian rupa.
Diambil dari buku :
LENTERA QALBU
UNTAIAN MUTIARA HIKMAH
AL-HABIB ABDUL QADIR BIN AHMAD ASSEGAF
Sumber :
http://tamanbuku.com/news/7/Meraih-Rahmat-Dalam-Setiap-Kondisi
Kalau kita lihat tingkah laku, ilmu, kasih sayang, kedermawanan, kerendahan hati, juga keistimewaan yang Allah swt anugerahkan kepadanya, pasti masing-masing membutuhkan perincian tersendiri, tentu saja akan memakan waktu yang tidak sedikit mengungkapkannya, semuanya menarik hati dan membuat lidah untuk memuji, tak disangkal hal yang demikian ini merupakan bukti sebagai pewaris Nabi Muhammad saw. Warisan ini terus ada dari generasi ke generasi baik dalam mengemban ilmu maupun penerapannya, mereka mengemban misi Nabi Muhammad saw yang disebutkan dalam sebuah hadisnya: “Sesungguhnya aku diutus semata-mata untuk menyempurnakan budi pekerti yang mulia.”
Sifat-sifatnya yang menunjukkan kesetiaannya dalam menjalankan syariat, ucapan, perbuatan dan gerak-geriknya semuanya tidak luput dari tuntunan syariat, jiwanya telah terdidik oleh didikan guru-gurunya, hingga ia menjadi contoh dalam mengikuti jejak Nabi Muhammad saw.
Barangsiapa yang mengikuti Nabi Muhammad saw dalam ucapan dan perbuatan, dan terus menerapkannya dengan penuh kesungguhan kepada Allah swt, ia menjadi wakil dari Nabi Muhammad saw, mendapat keistimewaan dalam kehidupan ini dengan izin untuk menginginkan apapun sesukanya dan semuanya dalam lingkup jaminan Allah swt, ini semua tergolong dalam rahasia dari hadis qudsi riwayat al-Imam al-Bukhari bahwa Allah swt berfirman: “Tidaklah hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan berbagai ibadah sunnah hingga Aku mencintainya, kalau Aku mencintainya Akulah yang menjadi pendengaran baginya, penglihatan baginya, lisannya yang ia gunakan untuk berbicara, kakinya yang ia gunakan untuk berjalan, tangannya yang ia gunakan untuk bergerak, kalau ia memohon kepadaku pasti aku penuhi dan kalau ia minta perlindunganKu pasti Aku lindungi.”
Ini sewaktu mereka di dunia adapun sewaktu mereka di akhirat telah Allah terangkan dalam ayat syafa’at: “Dan mereka tidak dapat memberi syafa’at kecuali yang Ia ridhai.”
Mereka mendapatkan mandat ini setelah ada izin dari Allah swt. Kiranya siapa lagi yang diridhai oleh Allah swt setelah para nabi dan rasul? Apa para pelaku kemaksiatan atau orang yang bodoh atau mandat diberikan kepada kalangan yang mewakili Nabi Muhammad saw. Banyak sekali hadis yang meriwayatkan siapa saja kalangan yang mendapat hak untuk memberi syafa’at, diantaranya: “Kelak yang memberi syafa’at ada tiga: para Nabi, para Ulama dan para Wali.”
Dan masih banyak lagi riwayatnya, ini masih kategori dhahir adapaun secara batin, Allah swt telah berfirman: “Wahai jiwa yang tenang kembalilah kepada Tuhanmu dalam keadaan ridha dan diridhai.” (Qs.al-Fajr ayat:27-28)
Para ahli tafsir mengatakan: “Arti ridha disini ia rela dengan menerima pahala yang begitu besar disamping anugrah besar lainnya yang menggembirakan hati dan menenangkan jiwa hingga jiwa ini puas dan rela kembali kepada Tuhannya. Dalam arti sebagaimana engkau rela kepada-Ku maka Akupun rela kepadamu. Nabi Muhammad saw menggambarkan tentang amalan para salihin dari kalangan umatnya: Tuhan mereka menampakkan diri kepada mereka lalu ia bertanya: “Apakah Aku sudah membuat kalian puas? Mereka menjawab:”Wahai Tuhan, bagaimana kami tidak puas, sedangkan Engkau telah memberi kami surga dan memberi kami ridha-Mu yang terbesar.”
Diantara tanda keridhaan Allah swt terhadap mereka ialah menjadikan keadaan mereka menjadi salah satu contoh paling sederhana bagaimana kelak kedatangan hamba ini kepada Tuhannya, tatkala jiwa dan hatinya menghadap Tuhannya saat itu ia dikelilingi para malaikat dan para salihin lainnya, saat itu akan diberikan padanya apa saja yang ia mau disana.
Sosok seperti Nabi Muhammad saw ini merupakan gambaran sosok yang Allah swt lindungi dari berbagai cacat dalam hidup ini, cukuplah hal ini sebagai pertanda yang Allah swt berikan kepada Nabi Muhammad saw, jadi kehadiran kita pada majelis ini untuk memperingati wafatnya tak lain adalah untuk mengambil berkah melalui keistimewaan yang Allah berikan padanya di saat ia menghadap kepada Tuhannya. Kalau ajal seseorang bagaimanapun jua telah ditentukan oleh Allah swt. Tetapi warisan Nabi Muhammad saw tidak pernah usai dan punah, tetapi justru akan terus berkembang dan terus semakin besar, karena ini telah menjadi jaminan Allah swt, sebagaimana dalam sebuah firman-Nya: “Allah telah menentukan:Aku menangkan Aku dan Rasul-Ku.” (Qs.al-Mujadalah ayat:21).
Para ulama mengatakan: “Kehadiran kita disaat semacam ini tak lain untuk mendapat berkah beliau melalui rahmat ilahi yang tercurahkan, karena rahmat itu senantiasa tercurahkan, utamanya di acara suka dan duka, sebagaimana yang disebutkan dalam sabda Nabi Muhammad saw: “Ketahuilah sesungguhnya setiap saat Tuhan kalian memiliki curahan rahmat, karena itu hadanglah rahmat-rahmat itu.”
Apalagi saat diangkatnya nyawa para salihin merupakan saat paling banyaknya curahan rahmat itu, karena Allah swt menyatakan dalam surat al-Baraqbah: nabi mereka berkata kepada mereka: “Sesungguhnya tanda-tanda kerajaannya Ia akan datangkan kepada kalian tabut yang berisi ketenangan dari Tuhan kalian dan ada sisa dari peninggalan keluarga Musa dan Harun yang nanti akan dibawa oleh para malaikat.”
Sisa peninggalan ini berupa tongkat Nabi Allah Musa as dan kedua sandalnya, serta beberapa kain usang dari sisa baju beliau, sisa peninggalan ini menjadi pengundang rahmat terbesar bagi tentara mereka hingga Nabi mereka mengatakan: “Kalau kalian ingin menang, maka letakkan di depan tabut itu.” Setelah mereka letakkan di depan datanglah kemenangan dari Allah swt.
Kalau itu masih peninggalan dari keluarga Nabi Allah Musa as lalu bagaimana dengan peninggalan keluarga Nabi Muhammad saw? Lalu dengan para ulama dari kalangan umat Rasulullah saw yang mana mereka telah Rasulullah saw samakan dengan para nabi Bani Israil seperti dalam hadisnya: “Ulama umatku seperti para Nabi Bani Israil.”
Mereka mendapat kedudukan yang tinggi dan kedudukan ini tetap terjaga sebagaimana firman Allah swt di dalam al-Qur’an: “Allah akan senantiasa mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (Qs.al-Mujadalah ayat:11)
Dalam firman-Nya yang lain: “Allah bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Dia dan para malaikat juga orang-orang yang berpengetahuan yang mendirikan keadilan.” (Qs.al-Imran ayat:18)
Dikisahkan ada seorang yang mengajukan tuntutan kepada orang lain di hadapan Qadhi (Hakim) Ismail Zamalkani, setelah tersangka dihadirkan di hadapannya, ia bertanya kepada penuntut: “Yang engkau bawa sumpah atau dua orang saksi?” Ia menjawab: “Dua orang saksi.” Lalu dimana keduanya? Tanya sang hakim. Ia menjawab: “Ini keduanya.” Kemudian ia berkata: “Kalau yang ini aku kenal, tapi kalau satunya aku tidak kenal tolong engkau perkenalkan terlebih dahulu.” Ia menjawab: “Bagaimana engkau tidak kenal, padahal yang lebih baik darimu sudah memperkenalkannya.” Sang hakim bertanya: “Siapa orangnya yang lebih baik dariku itu?” Ia menjawab: “Orangnya adalah Rasulullah saw sebagaimana dalam sabdanya: “Kelak yang akan mengemban ilmu ini dari setiap generasi ialah orang-orang yang paling bijak, mereka menolak pemalsuan yang dilakukan orang yang fanatik buta dan kerancuan mereka salah.”
Jadi sosok beliau ini termasuk ulama umat ini yang mendapatkan kesaksian dari Rasulullah saw sedemikian rupa.
Diambil dari buku :
LENTERA QALBU
UNTAIAN MUTIARA HIKMAH
AL-HABIB ABDUL QADIR BIN AHMAD ASSEGAF
Sumber :
http://tamanbuku.com/news/7/Meraih-Rahmat-Dalam-Setiap-Kondisi
Imam Ali ibn Abi Thalib mengatakan, “Aku benar-benar heran melihat orang takabur, padahal ia sebenarnya rapuh. Ia bisa mati karena mengkelan, busuk karena keringat, dan tidak bisa tidur karena kutu busuk.” Jika ia mengkel, makanannya tersendat ditenggorokan, ia bisa mati kalau tidak diselamatkan Allah. Jika keringatan dan tidak mandi, baunya apek. Dan, ia tidak bisa tidur jika digigit kutu busuk. Jika keadaannya seperti ini, bagaimana akan sombong? Pada awalnya, ia bukan apa-apa, pada akhirnya ia juga bukan apa-apa. Apa yang disombongkan?
Hanya ada satu resep untuk mengobati penyakit ini, yaitu tawadhu’; merendah. Dan, ini bisa dicapai dengan selalu mengingat bahwa dirinya bukan apa-apa, bahwa sebenarnya ia tidak ada. Apa yang bisa disombongkan? Harta, pangkat, kedudukan, atau kehormatan? Atau karenaberasal dari klan ini dan bangsa ini? Semua omong kosong! Ulama mengatakan bahwa orang yang sombong karena urusan dunia itu sebenarnya dungu. Karena, ia telah menyombongkan diri dengan segala sesuatu yang andaikan bernilai, niscaya takkan diberikan Allah. Kitalah yang akan kembali kepada-Nya, bukan dunia.
Sangat bodoh kalau ada yang beranggapan bahwa kehormatan, pangkat, dan kebahagiaan seseorang diukur dengan duduk atau berdirinya orang lain saat ia datang. Atau diukur apakah orang itu dimuliakan atau tidak? Bagi seorang mukmin, hal ini sangat tidak layak. Karena, orang mukmin hanya mulia disisi Allah. Apa gunanya kita diposisikan di atas manusia lain, padahal disisi Allah kita bukan apa-apa? Ini hanya akan membuka celah untuk terperosok ke dalam lubang penyakit selanjutnya setelah penyakit sombong, yaitu riya’! Orang mukmin mesti mewaspadai ini.
Intinya, agar tawadhu’ dan tidak sombong, manusia harus selalu ingat bahwa kita tidak ada apa-apanya. Jika hendak menyombongkan diri dengan dunia, dunia bahkan lebih hina untuk disombongkan. Bahkan, mestinya manusia malu menjadi ahli dunia. Malu dan takut apabila Allah menguji kita dengan harta, pangkat,kedudukan, kekuasaan, bahkan status social. Takut ini akan Allah jadikan hujjah untuk menyerang dan menjatuhkan dirinya kelak pada hari kiamat. Mestinya ia bersyukur atas segala nikmat yang ia terima, menelisik diri sendiri hingga yang paling dalam, dan meminta pertanggungjawaban diri apakah setiap nikmat sudah disalurkan sesuai yang diridai Allah, sehingga kelak pada hari kiamat Allah tidak mempertanyakan lagi.
Dunia adalah cobaan. Karena itu, saat generasi salaf berhadapan dengannya, mereka selalu mengatakan, “Inilah dosa yang siksanya langsung, tanpa ditunda-tunda.” Jika dunia membelakangi mereka, dan mereka jatuh ke dalam kefakiran, mereka bersukacita dan berkata, “Selamat dating, syiar orang-orang saleh.”
Jika diberi nikmat, orang mestinya berpikir keras bagaimana menyalurkan nikmat itu dalam konteks ketaatan kepada Allah. Jika diberi kedudukan, ia seharusnya merenungkan apa zakat profesi? Zakat profesi adalah mengarahkan diri untuk memenuhi hak orang lain, menolong yang lemah, dan memenuhi kebutuhan orang yang memerlukan. Inilah zakat orang yangberpangkat dan berkedudukan. Bukan malah dijadikan kesempatan untuk menyombongkan diri. Ini bodoh dan tidak layak menjadi sifat orang mukmin.
Diambil dari buku :
Terapi Ruhani Untuk Semua
Karya Habib Ali Al Jufri
Sumber :
http://tamanbuku.com/news/8/Tawadhu
Hanya ada satu resep untuk mengobati penyakit ini, yaitu tawadhu’; merendah. Dan, ini bisa dicapai dengan selalu mengingat bahwa dirinya bukan apa-apa, bahwa sebenarnya ia tidak ada. Apa yang bisa disombongkan? Harta, pangkat, kedudukan, atau kehormatan? Atau karenaberasal dari klan ini dan bangsa ini? Semua omong kosong! Ulama mengatakan bahwa orang yang sombong karena urusan dunia itu sebenarnya dungu. Karena, ia telah menyombongkan diri dengan segala sesuatu yang andaikan bernilai, niscaya takkan diberikan Allah. Kitalah yang akan kembali kepada-Nya, bukan dunia.
Sangat bodoh kalau ada yang beranggapan bahwa kehormatan, pangkat, dan kebahagiaan seseorang diukur dengan duduk atau berdirinya orang lain saat ia datang. Atau diukur apakah orang itu dimuliakan atau tidak? Bagi seorang mukmin, hal ini sangat tidak layak. Karena, orang mukmin hanya mulia disisi Allah. Apa gunanya kita diposisikan di atas manusia lain, padahal disisi Allah kita bukan apa-apa? Ini hanya akan membuka celah untuk terperosok ke dalam lubang penyakit selanjutnya setelah penyakit sombong, yaitu riya’! Orang mukmin mesti mewaspadai ini.
Intinya, agar tawadhu’ dan tidak sombong, manusia harus selalu ingat bahwa kita tidak ada apa-apanya. Jika hendak menyombongkan diri dengan dunia, dunia bahkan lebih hina untuk disombongkan. Bahkan, mestinya manusia malu menjadi ahli dunia. Malu dan takut apabila Allah menguji kita dengan harta, pangkat,kedudukan, kekuasaan, bahkan status social. Takut ini akan Allah jadikan hujjah untuk menyerang dan menjatuhkan dirinya kelak pada hari kiamat. Mestinya ia bersyukur atas segala nikmat yang ia terima, menelisik diri sendiri hingga yang paling dalam, dan meminta pertanggungjawaban diri apakah setiap nikmat sudah disalurkan sesuai yang diridai Allah, sehingga kelak pada hari kiamat Allah tidak mempertanyakan lagi.
Dunia adalah cobaan. Karena itu, saat generasi salaf berhadapan dengannya, mereka selalu mengatakan, “Inilah dosa yang siksanya langsung, tanpa ditunda-tunda.” Jika dunia membelakangi mereka, dan mereka jatuh ke dalam kefakiran, mereka bersukacita dan berkata, “Selamat dating, syiar orang-orang saleh.”
Jika diberi nikmat, orang mestinya berpikir keras bagaimana menyalurkan nikmat itu dalam konteks ketaatan kepada Allah. Jika diberi kedudukan, ia seharusnya merenungkan apa zakat profesi? Zakat profesi adalah mengarahkan diri untuk memenuhi hak orang lain, menolong yang lemah, dan memenuhi kebutuhan orang yang memerlukan. Inilah zakat orang yangberpangkat dan berkedudukan. Bukan malah dijadikan kesempatan untuk menyombongkan diri. Ini bodoh dan tidak layak menjadi sifat orang mukmin.
Diambil dari buku :
Terapi Ruhani Untuk Semua
Karya Habib Ali Al Jufri
Sumber :
http://tamanbuku.com/news/8/Tawadhu
Sebagian penulis menyebutkan dalam manaqib (biografi) Al-Imam Ali bin Abi Thalib -semoga Allah SWT meridhai beliau- bahwa suatu kali sebuah duri yang besar menancap sangat dalam dikaki beliau. Ketika duri tersebut akan dicabut, beliaupun merasa sangat kesakitan, sehingga dibiarkanlah begitu hingga datang waktu shalat. Ketika beliau masuk dalam shalat dan tenggelam dalam kekhusyu’annya, orang-orang pun menarik duri tersebut sedikit demi sedikit, dan beliau tidak merasakan apapun, sedangkan beliau sedang sholat. Hal itu karena dalamnya kekhusyu’an beliau, dan shalat telah menyita hati dan pikiran beliau serta membuat urat-urat syaraf beliau menjadi tenang sehingga beliaupun tak merasakan sakit. Semoga Allah meridhai beliau dan membuat beliau ridha, serta memuliakan wajah beliau.
Beberapa ulama ahli sejarah menyebutkan dalam biogarfi Abdullah bin Az-Zubair bin Al-Awam –semoga Allah SWT meridhai keduanya- bahwa jika Abdullah Shalat di Masjidil Haram, orang menyangka beliau adalah salah satu tiang dari masjid. Hal itu karena tenangnya dan diamnya beliau serta tenggelamnya beliau dalam shalat. Sehingga terkadang burung merpati pun hinggap diatas kepala beliau.
Diriwayatkan pula dari saudara beliau, yang bernama Urwah, bahwa kaki Abdullah bin Az-Zubair suatu kali terkena sebuah penyakit yang mengharuskan kakinya diamputasi (dipotong). Ketika mereka akan memotong kakinya tersebut, beliaupun berkata : “Tunggulah, hingga aku shalat. Jika aku telah masuk dalam shalat maka lakukanlah apa yang kalian akan lakukan”. Maka ketika beliau masuk dan tenggelam dalam shalatnya, mereka pun memotong salah satu bagian dari kakinya. Beliaupun tak merasakan apa-apa dan beliau tetap melanjutkan shalatnya. Semoga Allah mengasihi beliau.
Suatu kali terbakarlah rumah Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, yang terkenal dengan julukan Zainal Abidin (Hiasannya orang-orang yang ahli ibadah) –Semoga Allah SWT meridhai mereka- rumah beliau terbakar sedangkan beliau sedang sholat. Maka orang pun berteriak Api!! Api!!. Namun beliau tidak merasakan apa-apa padahal api sudah dekat dengan beliau. Sehingga akhirnya orang-orangpun berhasil memadamkannya. Setelah beliau salam, orang-orang berkata kepada beliau : “Bagaimana engkau tidak menyadari akan adanya api ?. Beliau ra’ menjawab : “Aku mengingat panasnya api akhirat maka aku tidak memutuskan shalatku karena api dunia”.
Dan termasuk suatu hal yang biasa, dahulu ketika masa awal islam, orang-orang yang shalat berdiri lama sekali dalam shalatnya karena merasakan nikmatnya shalat dan merenungi makna-makna ayat Al-Qur’an yang dibaca dalam shalatnya tersebut.
Diambil dari buku :
Rahasia dan Hikmah Shalat 5 Waktu
Karya Al-Allamah Sy. Muhammad bin Ahmad Asy-Syathiri
Sumber :
http://tamanbuku.com/news/9/Khusyu
Beberapa ulama ahli sejarah menyebutkan dalam biogarfi Abdullah bin Az-Zubair bin Al-Awam –semoga Allah SWT meridhai keduanya- bahwa jika Abdullah Shalat di Masjidil Haram, orang menyangka beliau adalah salah satu tiang dari masjid. Hal itu karena tenangnya dan diamnya beliau serta tenggelamnya beliau dalam shalat. Sehingga terkadang burung merpati pun hinggap diatas kepala beliau.
Diriwayatkan pula dari saudara beliau, yang bernama Urwah, bahwa kaki Abdullah bin Az-Zubair suatu kali terkena sebuah penyakit yang mengharuskan kakinya diamputasi (dipotong). Ketika mereka akan memotong kakinya tersebut, beliaupun berkata : “Tunggulah, hingga aku shalat. Jika aku telah masuk dalam shalat maka lakukanlah apa yang kalian akan lakukan”. Maka ketika beliau masuk dan tenggelam dalam shalatnya, mereka pun memotong salah satu bagian dari kakinya. Beliaupun tak merasakan apa-apa dan beliau tetap melanjutkan shalatnya. Semoga Allah mengasihi beliau.
Suatu kali terbakarlah rumah Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, yang terkenal dengan julukan Zainal Abidin (Hiasannya orang-orang yang ahli ibadah) –Semoga Allah SWT meridhai mereka- rumah beliau terbakar sedangkan beliau sedang sholat. Maka orang pun berteriak Api!! Api!!. Namun beliau tidak merasakan apa-apa padahal api sudah dekat dengan beliau. Sehingga akhirnya orang-orangpun berhasil memadamkannya. Setelah beliau salam, orang-orang berkata kepada beliau : “Bagaimana engkau tidak menyadari akan adanya api ?. Beliau ra’ menjawab : “Aku mengingat panasnya api akhirat maka aku tidak memutuskan shalatku karena api dunia”.
Dan termasuk suatu hal yang biasa, dahulu ketika masa awal islam, orang-orang yang shalat berdiri lama sekali dalam shalatnya karena merasakan nikmatnya shalat dan merenungi makna-makna ayat Al-Qur’an yang dibaca dalam shalatnya tersebut.
Diambil dari buku :
Rahasia dan Hikmah Shalat 5 Waktu
Karya Al-Allamah Sy. Muhammad bin Ahmad Asy-Syathiri
Sumber :
http://tamanbuku.com/news/9/Khusyu
Pada Tanggal 27 Rabiul Akhir 1327 Hijriyyah, Habib Ali menceritakan tentang kemuliaan yang dimiliki oleh Sayyidina al-Imam Abul Hasan asy-Syadziliy. "Pada suatu saat Imam Abul Hasan asy-Syadziliy radhiyallaahu'anhu pergi berlayar dengan perahu layar kecil bersama dengan beberapa orang saja. Namun sesampainya di laut merah yaitu laut yang membelah antara Benua Asia dan Benua Afrika, tiba-tiba tiada angin yang bertiup sama sekali, sehingga perahu layar kecil itu tak bisa berlayar selama 4 atau 5 hari.
Pada suatu malam al-Imam Abul Hasan asy-Syadziliy bermimpi bertemu dengan Rasulullah Shallallaahu'alaihi wa Sallam, baginda Nabi datang dengan membawa kabar gembira dan mangajarkan lafadz-lafadz doa kepada Sayyidinal-Imam Abul Hasan asy-Syadziliy.
Beliau hanya tertidur sebentar saja, dan dalam tidurnya itu beliau bermimpi bertemu dengan kekasih Allah Ta'alaa itu, Imam Abul Hasan asy-Syadziliy langsung bangun dari tidurnya dan mengambil air wudhu lalu segera menirukan lafadz-lafadz doa yang dituntunkan oleh Rasulullah Shallallaahu'alaihi wa Sallam. Seusai Imam Abul Hasan asy-Syadziliy membaca doa tersebut, angin bertiup dan membawa perahu kayarnya kembali berlayar.
Doa-doa itu kemudian ditulis dan diabadikan oleh beliau dan kemudian beliau ajarkan kepada murid-muridnya.
Setelah itu doa tersebut dijadikan wirid harian oleh beliau dan seluruh santrinya. Akhirnya beliau memberi nama doa itu dengan Hizb al-Bahr (wirid lautan).
Adapun khasiat dan keampuhan dari doa dan wirid ini membuat para penjahat dan bajak laut yang mempunyai niat jahat ketakutan di tengah samudera.
Bahkan Imam Abul Hasan asy-Syadziliy rahimahullah sendiri mengatakan, "Bila Hizb al-Bahr ini dibaca di sebuah tempat, maka tempat itu akan dilindungi oleh Allah dari malapetaka. Dan siapa pun yang istiqomah membaca Hizb al-Bahr ini setelah sholat ashar, maka ia tidak akan meninggal dunia dalam keadaan terbakar, tenggelam atau mati dibunuh orang."
Amalkan wirid ini dengan istiqomah, dan jangan mengharapkan apapun kecuali ridho dan perlindungan Allah Subhanahu wa Ta'alaa! Semua amalan dan bacaan yang diajarkan oleh para salaf sholih bila kita lakukan dengan istiqomah dan penuh keyakinan kepada Allah, maka akan membuahkan hasil yang nyata dan jelas di depan mata kita.
Diambil dari :
Buku Menguak Rahasial Ilmu Para Wali
Karya : Habib Alwi bin Ali Al Habsyi
Sumber :
http://tamanbuku.com/news/11/Sejarah-di-Tulisnya-Hizbul-Bahr
Pada suatu malam al-Imam Abul Hasan asy-Syadziliy bermimpi bertemu dengan Rasulullah Shallallaahu'alaihi wa Sallam, baginda Nabi datang dengan membawa kabar gembira dan mangajarkan lafadz-lafadz doa kepada Sayyidinal-Imam Abul Hasan asy-Syadziliy.
Beliau hanya tertidur sebentar saja, dan dalam tidurnya itu beliau bermimpi bertemu dengan kekasih Allah Ta'alaa itu, Imam Abul Hasan asy-Syadziliy langsung bangun dari tidurnya dan mengambil air wudhu lalu segera menirukan lafadz-lafadz doa yang dituntunkan oleh Rasulullah Shallallaahu'alaihi wa Sallam. Seusai Imam Abul Hasan asy-Syadziliy membaca doa tersebut, angin bertiup dan membawa perahu kayarnya kembali berlayar.
Doa-doa itu kemudian ditulis dan diabadikan oleh beliau dan kemudian beliau ajarkan kepada murid-muridnya.
Setelah itu doa tersebut dijadikan wirid harian oleh beliau dan seluruh santrinya. Akhirnya beliau memberi nama doa itu dengan Hizb al-Bahr (wirid lautan).
Adapun khasiat dan keampuhan dari doa dan wirid ini membuat para penjahat dan bajak laut yang mempunyai niat jahat ketakutan di tengah samudera.
Bahkan Imam Abul Hasan asy-Syadziliy rahimahullah sendiri mengatakan, "Bila Hizb al-Bahr ini dibaca di sebuah tempat, maka tempat itu akan dilindungi oleh Allah dari malapetaka. Dan siapa pun yang istiqomah membaca Hizb al-Bahr ini setelah sholat ashar, maka ia tidak akan meninggal dunia dalam keadaan terbakar, tenggelam atau mati dibunuh orang."
Amalkan wirid ini dengan istiqomah, dan jangan mengharapkan apapun kecuali ridho dan perlindungan Allah Subhanahu wa Ta'alaa! Semua amalan dan bacaan yang diajarkan oleh para salaf sholih bila kita lakukan dengan istiqomah dan penuh keyakinan kepada Allah, maka akan membuahkan hasil yang nyata dan jelas di depan mata kita.
Diambil dari :
Buku Menguak Rahasial Ilmu Para Wali
Karya : Habib Alwi bin Ali Al Habsyi
Sumber :
http://tamanbuku.com/news/11/Sejarah-di-Tulisnya-Hizbul-Bahr
Rasulullah SAW ketika menangis tidak tersedu-sedu dan tidak pula dengan suara yang tinggi. Sebagaimana tawa beliau yang juga tidak terbahak-bahak. Tangisan Rasulullah SAW adalah bercucuran air matanya, dan terdengar gemuruh di dadanya. Rasulullah SAW, terkadang menangis karena kasihan kepada orang yang meninggal. terkadang disebabkan kekhawatiran dan belas kasih beliau kepada umatnya. Tangisan Rasulullah SAW, bisa disebabkan takut kepada Allah Ta'ala. Rasulullah SAW terkadang juga menangis ketika mendengar bacaan al-Qur'an. Adakalanya pula bliau menangis ketika shalat malam.
Diriwayatkan dari Abdullah bin asy-Syikhkhir ra, dia berkata, "Aku pernah mendatangi Rasulullah SAW., ketika itu Beliau sedang shalat, dan dari rongga (dada) beliau terdengar suara gemuruh seperti suara ketel tembaga mendidih disebabkan oleh tangisan."
Diriwayatkan dari Abdullah bin Masud ra, dia berkata, "Rasulullah SAW bersabda kepadaku, 'Bacalah al-Qur'an untukku!' Aku berkata,"Wahai Rasulullah, apakah aku akan membaca al-Qur'an untukmu padahal al-Qur'an itu diturunkan kepadamu?' Beliau bersabda, Sesungguhnya aku ingin mendengarnya dari selainku.' Aku pun membaca Surah An-Nisa' sehingga aku sampai pada Waji'na bika 'ala ha- ula-i syahida (Dan Kami mendatangkan kamu [Muhammad] sebagai saksi atas mereka itu [sebagai umatmu]). (QS an-Nisa' [4];41). Aku melihat kedua mata Rasulullah SAW bercucuran air mata."
Diriwayatkan dari Ibn 'Abbas ra, dia berkata, "Rasulullah SAW, meraih anak dari anak perempuannya yang masih kecil, yang hampir meninggal dunia. Beliau memeluknya lalu meletakkannya dihadapannya, dan anak itu meninggal dihadapan beliau. Ketika itu, Ummu Aiman menjerit, maka Nabi SAW berkata kepadanya, "Apakah kamu menangis di rumah Rasulullah?" Ummu Aiman berkata, "Bukankah aku melihat kamu seniri menangis?" Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya aku bukanlah menangis, tetapi ia adalah rahmat. Sesungguhnya seorang mukmin berada dalam kebaikan dalam setiap keadaan. Sesungguhnya jiwanya dicabut dari antara kedua rusuknya, sementara dia memuji Allah 'Azza wa Jalla."
Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra, dia berkata, "Kami [ernah menyaksikan penguburan putri Rasulullah SAW, dan Rasulullah duduk di kuburan, aku melihat kedua mata beliau bercucuran air mata.
Diriwayatkan dari Aisyah ra bahwasanya Rasulullah SAW mencium Ustman bin Mazhnun yang meninggal dunia, dan beliau menangis. Kedua mata Rasulullah SAW banyak mengucurkan air mata.
Pernah sekali terjadi gerhana matahari, ketika shalat Rasulullah SAW menangis seraya berkata, "Wahai Tuhanku, bukankah Engkau telah menjanjikan kepadaku bahwa Engkau tidak akan menyiksa mereka, sedang aku berada di tengah-tengah mereka dan mereka memohon ampunan kepada- Mu? Dan kami memohon ampunan-Mu wahai Tuhanku."
Diambil dari :
Buku Indahnya Muhammad SAW
Karya : Syaikh Yusuf bin Ismail An-Nabhani
Sumber :
http://tamanbuku.com/news/12/Tangisan-Rasulullah-SAW
Diriwayatkan dari Abdullah bin asy-Syikhkhir ra, dia berkata, "Aku pernah mendatangi Rasulullah SAW., ketika itu Beliau sedang shalat, dan dari rongga (dada) beliau terdengar suara gemuruh seperti suara ketel tembaga mendidih disebabkan oleh tangisan."
Diriwayatkan dari Abdullah bin Masud ra, dia berkata, "Rasulullah SAW bersabda kepadaku, 'Bacalah al-Qur'an untukku!' Aku berkata,"Wahai Rasulullah, apakah aku akan membaca al-Qur'an untukmu padahal al-Qur'an itu diturunkan kepadamu?' Beliau bersabda, Sesungguhnya aku ingin mendengarnya dari selainku.' Aku pun membaca Surah An-Nisa' sehingga aku sampai pada Waji'na bika 'ala ha- ula-i syahida (Dan Kami mendatangkan kamu [Muhammad] sebagai saksi atas mereka itu [sebagai umatmu]). (QS an-Nisa' [4];41). Aku melihat kedua mata Rasulullah SAW bercucuran air mata."
Diriwayatkan dari Ibn 'Abbas ra, dia berkata, "Rasulullah SAW, meraih anak dari anak perempuannya yang masih kecil, yang hampir meninggal dunia. Beliau memeluknya lalu meletakkannya dihadapannya, dan anak itu meninggal dihadapan beliau. Ketika itu, Ummu Aiman menjerit, maka Nabi SAW berkata kepadanya, "Apakah kamu menangis di rumah Rasulullah?" Ummu Aiman berkata, "Bukankah aku melihat kamu seniri menangis?" Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya aku bukanlah menangis, tetapi ia adalah rahmat. Sesungguhnya seorang mukmin berada dalam kebaikan dalam setiap keadaan. Sesungguhnya jiwanya dicabut dari antara kedua rusuknya, sementara dia memuji Allah 'Azza wa Jalla."
Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra, dia berkata, "Kami [ernah menyaksikan penguburan putri Rasulullah SAW, dan Rasulullah duduk di kuburan, aku melihat kedua mata beliau bercucuran air mata.
Diriwayatkan dari Aisyah ra bahwasanya Rasulullah SAW mencium Ustman bin Mazhnun yang meninggal dunia, dan beliau menangis. Kedua mata Rasulullah SAW banyak mengucurkan air mata.
Pernah sekali terjadi gerhana matahari, ketika shalat Rasulullah SAW menangis seraya berkata, "Wahai Tuhanku, bukankah Engkau telah menjanjikan kepadaku bahwa Engkau tidak akan menyiksa mereka, sedang aku berada di tengah-tengah mereka dan mereka memohon ampunan kepada- Mu? Dan kami memohon ampunan-Mu wahai Tuhanku."
Diambil dari :
Buku Indahnya Muhammad SAW
Karya : Syaikh Yusuf bin Ismail An-Nabhani
Sumber :
http://tamanbuku.com/news/12/Tangisan-Rasulullah-SAW